Thursday 28 October 2010

JATIM ADVENTURE PART IV [ Malam Pertama di Lereng Arjuna Welirang]

picture...picture....

highest


at pet bocor


trekking


at Lembah Kijang

summit


oki and edellweis


down

Malam Pertama di Lereng Arjuna – Welirang

Sebelum sampai di pos pendaftaran untuk pendaki, kami mampir sebentar di sebuah pasar tradisional untuk membeli beberapa logistik tambahan. Kami sampai saat hari sudah hampir gelap, lalu yang kuingat adalah Dini dan Lani yang tiba-tiba menghilang saat kami sedang packing ulang. Selidik punya selidik, mereka berdua naik ojek ke tukang urut. Karena Dini memutuskan untuk tetap melakukan pendakian walaupun sempat terjatuh, kakinya minimal harus diurut, untuk meminimalisir kemungkinan buruk.

Waktu menunggu itu, kami gunakan untuk kembali packing, kembali memeriksa barang bawaan. Karena perjalanan terakhir inilah, yang kami sadari akan banyak menguras energy fisik dan juga mental, jadi semua harus dipersiapkan baik-baik. Setengah jam, yang ditunggu akhirnya tiba. Lani dan Dini bergabung dengan rombongan. Setelah berdoa dan mengubah rencana perjalanan, kami berangkat menuju pos pertama bernama Pet Bocor.

Tak lama setelah beranjak dari pos pendaftaran, sekitar setengah jam, kami tiba di Pet Bocor. Rencana awal sebenarnya adalah mendaki hingga Pok-Pokan, tetapi karena waktu awal pendakian yang menjelang malam, penjaga di pos pendaftaran menyarankan kami untuk bermalam di Pet Bocor saja, lalu keesokannya langsung menuju ke Pondok Welirang. Untuk lebih amannya, tak ada salahnya kami mengikuti saran penjaga pos tersebut.

Masih sangat jelas diingatanku saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di tempat itu. ada sedikit perdebatan saat itu. Ahmad, senior yang menemani kami untuk pendakian ini, menginginkan untuk kami terus melanjutkan perjalanan hingga pok-pokan, yang berjarak 3 -4 jam perjalanan lagi. Tapi karena saat itu kondisi Karin yang tidak memungkinkan, akhirnya perjalanan malam itu berhenti di Pet Bocor.

Kami mulai camp craft hinggga pukul 9 malam. Sehabis makan dan beres –beres, rombongan yang kelelahan itu pergi tidur. Masih segar dalam ingatanku Karin yang tiba –tiba menangis saat tiba pertama kali di Pet Bocor, aku ga tahu persis ia melihat apa, yang kutahu ada sesuatu yang ganjil disini. Aku sempat dengar kabar burung mengenai Gunung Arjuna –Welirang ini, yang memang banyak hal aneh yang terjadi saat orang hendak mendaki puncak –puncaknya. Tapi aku sama sekali tak menyangka hal aneh itu juga terjadi pada rombongan kami.

Sepanjang malam aku dihantui perasaan takut. Tidurku gelisah dan tak nyenyak, sampai sayup –sayup kudengar suara orang diluar tenda yang sedang membaca ayat –ayat Al-Quran. Aku tertegun. Hantukah? Tapi mana mungkin hanntu bisa baca Al-Quran sefasih itu. kutajamkan pendengaranku. Dan menghela nafas saat menyadari suara itu kukenal. Ya, itu adalah suara sahabat seperjalananku, Oki. Dan tunggu! Suara siapa itu satu lagi? Ah Ahmad, Kawan. itu suara Oki dan Ahmad yang sedang membaca surat Yaasin. Aku baru menyadari bahwa malam itu adalah malam nisfu saban, dan teringat perkataan Oki sebelum tiba di Pet Bocor, bahwa ia ingin mengaji malam ini. Lamat –lamat suara itu menghantarkanku kekedalaman mimpi di tidurku.

Bintang Jatuh di Lembah Bromo

Pagi di Pet Bocor, adalah pagi tersibuk. Semua orang mempersiapkan baik –baik dirinya untuk perjalanan yang memakan waktu sekitar setengah hari, menuju camp ke-2. Camp kedua berada di persimpangan jalur menuju puncak Arjuna dan puncak Welirang. Apa ya, hal unik yang bisa kuceritakan dari tempat itu? oh ya! tempat itu juga dipakai untuk tempat tinggal sementara para penambang belerang yang mengais sedikit rejeki di puncak Welirang. Maka dari itu banyak sekali rumah –rumah sementara para penambang. Rumah –rumah sederhana itu hanya berbentuk segitiga seperti tenda pramuka, hanya terdapat satu ruangan di dalamnya yang digunakan sebagai kamar tidur juga dapur sederhana, tanah menjadi satu –satunya alas di dalam rumah, atap –atapnya terbuat dari rumbia. Pondok –pondok penambang ini berjejalan sepanjang persimpangan jalur Arjuna –Welirang, makanya para pendaki setempat lebih mengenal camp ke -2 ini sebagai Pondok Welirang.

Setelah selesai packing di pagi yang cerah itu, kami semua berkumpul dan berdoa untuk mengawali perjalanan yang tak mudah itu. Aku sungguh –sungguh berdoa dalam hati. Semoga semua orang yang berada dalam rombongan ini dikuatkan jasmaninya, dibajakan mentalnya, direndahkan hatinya, diberi kekuatan untuk menuju semua tujuan bersama –sama.

Aku teringat di awal perjalanan. tepatnya saat melewatkan malam di lembah Bromo. Sebelum heboh melihat bintang jatuh di Pananjakan, sebenarnya aku dan Lani sudah terlebih dulu melihat bintang jatuh itu saat kami sedang berjalan mencari makan malam di warung sekitar penginapan. Aku juga ingat sekali saat Gembel, salah satu kawan seperjalanan bertanya,

“Lu minta permohonan apa?”

Dan dengan penuh harapan Lani berkata

“Semoga kita semua bisa sampai Puncak Arjuna –Welirang, dan pulang kembali dengan selamat”

Aku termasuk orang yang kurang percaya akan adanya permohonan –permohonan lewat bintang jatuh seperti itu, dan lebih sering menggunakan nalar. Kalau mau sukses ya, usaha, seperti itulah aku. Namun, aku orang yang percaya akan adanya keajaiban, dan sekali ini, sekali saja, Tuhan! Aku mohon kabulkan permohonan yang kami dapat dari bintang jatuh di lembah Bromo itu.

Menempuh Separuh Jalan, Bukan Berarti Salah Jalan

Namun, sepertinya Tuhan berkata lain pagi menjelang siang itu. aku dan beberapa sahabat harus menelan lagi pil kekecewaan, saat akhirnya Karina menyerah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju pondok Welirang. Dan jika kami harus kehilangan Karin, maka kami juga bersiap hati untuk merelakan Jafar ikut pergi.

Mungkin sebagian orang beranggapan mereka, atau orang –orang di dalam rombongan yang tidak pernah mendaki sebelumnya, sebagai kargo tambahan yang bikin susah pendakian ini, dan pasti ada, aku haqqul yakin, pasti ada orang –orang dalam perjalanan ini, baik itu yang ikut dalam rombongan atau hanya orang dibalik layar yang menganggap orang –orang yang belum pernah mendaki sebagai weak point, dan juga penghambat pendakian.

Tapi opiniku berkata lain. Maaf jika ada orang –orang tertentu yang kusinggung, tapi benarkah mereka hanya orang –orang yang menambah beban perjalanan? aku rasa tidak, Kawan. aku sangat yakin jika saja saat itu orang –orang disekitar Karin bisa mengangkat mental dan keyakinannya, bukannya menyuruh mereka langsung menyerah dengan asumsi bisa mempercepat perjalanan teman –temannya, atau menyuruh mereka berhenti dengan alasan rela berkorban agar teman –teman sependakian tidak repot di jalan, sekali lagi kukatakan aku haqqul yakin, Karin dan Jafar saat ini, mungkin juga bisa bercerita tentang indahnya awan –awan di puncak Welirang.

Tapi semua tinggallah cerita, tak lagi dapat kuubah kodratnya. Mungkin memang Tuhan, menginginkan itu untuk bahan pelajaran kami. Aku sering mendengar kawan seperjalanan, atau senior –seniorku mengatakan untuk menyiapkan mental, dan jangan gampang menyerah. Lalu apakah kejadian Karina dan Jafar itu tidak bisa dianggap kalau kita gampang menyerah?

Orang kebanyakan beranggapan bahwa kata “jangan menyerah” diidentikan dengan diri sendiri. Jika aku bisa sampai puncak Arjuna, maka aku bukanlah orang yang gampang menyerah!, atau jika kawanku tidak kuat untuk mendaki sampai puncak dan memutuskan untuk turun, maka ia adalah orang yang gampang menyerah! Seperti itulah mungkin sebagian besar orang berfikir. Tetapi coba pikirkan lagi, Kawan. Aku berfikir dan memutuskan seharusnya bukan seperti itu. insiden Karin dan Jafar bukanlah karena mereka yang menyerah, tetapi karena kita yang terlalu cepat menyerah untuk merangkul dan meninggikan hati mereka, juga meyakinkan bahwa mereka bisa. Jadi menurut kalian siapa yang gampang menyerah? Karina dan Jafar? Atau kami, yang mengaku kawan seperjalanan tetapi tak bisa meyakinkan mereka?

Yang jelas walaupun mereka hanya menempuh separuh jalan, bukan berarti mereka salah.

Pondok Welirang, dan Atap –Atap Rumbia

Setelah kepulangan Karina dan Jafar, rombongan tetap meneruskan perjalanan menuju pondok Welirang. 2 orang berkurang dalam rombongan kami. Kami tetap melangkah menapaki jalanan berbatu yang tinggi. Sesekali aku menerobos masuk jalur tanah yang berada di pinggir jalur batu. Setengah hari kurang kami berjalan, aku merasakan tumit kakiku panas seperti terbakar. Sepatu track pinjaman yang ukurannya sedikit lebih besar sepertinya mulai protes karena dipakai berjalan tak henti –henti.

Untungnya cuaca hari itu mendukung. Walaupun terkadang tiba -tiba kabut berpendar turun, sehingga suhu mendadak drop, tapi selebihnya cuaca cerah. Dan satu hal dari gunung ini yang tak aku suka. Jalanan menuju ke Pondok Welirang dulunya adalah jalan tanah setapak yang hanya bisa dilalui manusia, tetapi sekarang hutan itu terbuka dan menjadi jalan berbatu yang panas jika matahari tengah terik bersinar disiang hari.

Tengah hari lewat, kami beristirahat untuk makan siang. Setelah itu kembai melanjutkan perjalanan. menjelang sore, rombongan yang jaraknya terpisah –pisah lumayan jauh, entah mengapa berkumpul dan bertemu di suatu titik, beberapa menit sebelum jalan batu berakhir yang menendakan pondok Welirang tak jauh dari sana. Dan akhirnya dengan rasa syukur yang tak terhingga rombongan tiba di pondok Welirang menjelang sore.

Seperti sebuah perkampungan sederhana. Tak banyak memang pondokan yang berdiri disana, dan aku lebih suka seperti itu. Sejuk, karena pohon –pohon tinggi menjulang. Jalur setapaknya berdebu, khas jalur gunung di daerah Jawa Timuran. Aku pernah mendengar dari salah seorang senior yang pernah lebih dulu mendaki, bahwa pondok –pondok penambang itu biasa disewakan oleh para penambang kepada pendaki yang hendak bermalam disana. Sempat ada pikiran iseng untuk masuk kedalamnya, karena ternyata para penambang sedang sepi dan pondok mereka di tinggal begitu saja. Tapi kuusir pikiran iseng itu, takut terjadi hal yang tak diinginkan. Bagaimanapun, hati –hati dalam bersikap adalah hal mutlak jika berada di gunung.

Setelah camp craft dan memasak, tak ada hal menarik yang bisa aku ceritakan, hal selanjutnya adalah bahwa kami pergi istirahat di hangatnya tenda. Mempersiapkan diri untuk pendakian yang sebenarnya besok. Puncak Arjuna.

Menuju Puncak Arjuna

Dan seperti di awal sekali cerita ini dimulai, aku dan beberapa sahabat telah berjalan kurang lebih 3 jam, dan disinilah kami sekarang, di tepi jalur menuju puncak –puncak impian Arjuna. Perjalanan yang panjang ini begitu melelahkan, bahkan awal perjalanan dari camp Pondok Welirang, aku sudah akan menyerah dengan alasan memalukan. Alasan perempuan lebih tepatnya, karena aku datang bulan, sakitnya bukan kepalang perutku itu. Tapi dengan mental dan tekad baja, akhirnya aku masih berada di tepi jalur menuju puncak Arjuna dengan disertai dukungan moril dari sahabat –sahabat terbaikku.

Yang tak disangka –sangka adalah Dini dan Agung yang menyerah saat telah masuk wilayah puncak pertama. Mereka akhirnya turun kembali menuju camp. Tak jelas sebabnya apa karena aku tak bersama mereka saat mereka memutuskan untuk turun, dari informasi yang kudapat Dini muntah –muntah. Entah kenapa bisa begitu.

Ada kejadian yang sampai sekarang aku masih tak bisa lupa. Di jalur menuju puncak, sedikit lagi. Tapi panas dan haus menghambat perjalananku dan Ficko. 2 orang terakhir yang ada di rombongan kami. mungkin beberapa kawan telah menyentuh puncak tertinggi Arjuna, tapi kehausan yang kami alami benar –benar masalah serius. Kami dehidrasi, dan tak sebotolpun air kami pegang. Air minum telah berada di tangan orang –orang rombongan depan, dan itu berarti kami harus menuju puncak dulu untuk dapat air. Sementara aku dan Ficko benar –benar dehidrasi tingkat akut. Akupun rasanya baru kali itu mengalami dehidrasi yang sebegitu parahnya. Kepalaku pening, tenggorokanku kemarau rasanya, dan Kawan, rasanya seperti tak punya lidah. Bicarapun malas.

Disaat kritis seperti orang tak punya lidah itulah, bantuan kecil datang. 2 orang pendaki asing, kuduga dari Malaysia karena logatnya melayu –melayu, cengkok bicaranya seperti penyanyi pop Indonesia zaman sekarang jika sedang bernyanyi. Terbersit beberapa pikiran untuk meminta air pada mereka dengan beberapa opsi,

Opsi 1

Aku : Maaf, boleh saya minta air, saya haus sekali..

Turis : Ha? cakap ape orang ni?

Ficko : Hah? Saya minta air madam, bukan ikan kakap ( Budi alias budek dikit, pengaruh dehidrasi)

Turis : Ha? Tak paham awak ma orang ni

Duh sepertinya opsi 1 ga akan berhasil.

Opsi 2

Aku : Permisi saya haus, boleh minta airnya?

Turis 1 : (sumringah, lalu bicara dengan teman senegaranya) pak cik, orang Indonesia ni, sepertinya hendak cakap pada awak

Turis 2 : Betul,,Betul,,Betul

Turis 1 : Tengok cara dia cakap pada awak ni, lucu sekali orang ni punya bahase

Turis 2 : Tengok,,tengok..tengok

Jadi berasa nonton film kartun Upin Ipin, opsi 2, gagal.

Opsi 3

Aku rampas botol airnya secara mendadak. Turis menjerit kaget.

Turis : apa –apaan orang ni.. pencuri kalian ni..

Aku : masih mending gue Cuma nyuri botol air. Negara lu nyuri reog ponorogo, batik, tari pendet, lagu rasa sayange, angklung dll. Banyakan kalian nyurinya ketimbang gue… merdeka!!! ( lalu minum air sepuasnya..)

Eng, sedikit beresiko sepertinya,

Sedang berkhayal gila –gilaan, dibelakang turis Malaysia itu, muncul orang yang dari perawakannya segera kutahu ia saudara pribumi. Ia adalah guide turis –turis tersebut. Ia heran melihat kami diam di tempat tak bergerak –gerak.

“ Ayo, dikit lagi puncak” ia memberi kami semangat

“Duluan aja mas, kami dehidrasi..” aku memancing, tak lupa dengan walah meringis-ringis seperti orang kesakitan.

Saudara se-pribumiku itu tersenyum mengerti. Dengan tenang ia mengambil botol air yang tergantung di belakang daypacknya. Lalu mengulurkannya padaku. Aku sumringah. Misiku ternyata berhasil. Aku meneguk air didalamnya. Kunikmati tiap aliran air yang melewati kerongkonganku. Ahhhh, indahnya kerjasama, dan persaudaraan. Lalu ku ulurkan botol itu pada Ficko. Ia juga meneguk airnya. Setelah itu kukembalikan pada saudara se-pribumiku yang belum kutahu dan tak pernah kutahu namanya hingga sekarang. Ia tersenyum kembali lalu pamit melanjutkan perjalanan terlebih dahulu, bersama orang –orang Malaysia tadi.

Tak lama setelah kejadian botol minum itu, akhirnya berkat doa dan keinginan kuat, aku bisa menginjakkan kakiku di puncak impian, puncak Arjuna.

Wonder Women Itu Jatuh Air Matanya

Teman –teman yang lebih dulu mencapai puncak juga mengalami beberapa hal seru. Terutama….Lani..

Alkisahnya sebagai berikut, hehehe. Saat aku dan Ficko yang berada di rombongan akhir puncak Arjuno kehausan, Lani dengan baik hati menawarkan diri untuk mengambil botol air yang berada di rombongan depan. Yang kuingat adalah dia mengatakan sesuatu yang kurang lebih seperti ini,

“Gue jalan duluan ya, ntar gua ambilin air trus gue balik lagi”

Yah, seperti itulah. Sesaat kemudian wonder women yang saat itu mengenakan jaket parka warna kuning yang kebesaran di badannya dan kaus kaki bola merah itu melesat ke depan. Berjalan sendirian membelah savanna –savanna Arjuna demi satu misi mulia. Mengambil air untukku dan Ficko.

Yang tidak disangka –sangka adalah kejadian saat dia merasa sendirian. Dia mengaku berteriak memanggil orang –orang di depannya

“EOOO” tak ada jawaban,

Lani berteriak lagi memanggil aku dan Ficko yang berada di belakangnya,

“EOO” tak ada jawaban lagi. Bahkan aku dan Fickopun tak mendengar.

Lani terus berjalan. Tak peduli. Sampai saat ia menyibak sebuah semak tinggi dan menemukan 4 makam di daerah terbuka sebelum puncak. Wonder women dalam rombongan kami itu mengaku ciut nyalinya. Pikirannya tak karuan, menangislah si wonder women itu. lunturlah air matanya. Basahlah pipinya, hehehehe.

Kejadian itu untungnya di lihat oleh Rendy yang berada di puncak Arjuna. Cepat –cepat dipanggilnya Lani dari kejauhan. Lani yang melihat dan mendengar Rendy dari kejauhan itu langsung berjalan menuju puncak, masih dengan air matanya. Sampai dipuncak berceritalah dia pada orang –orang di rombongan kenapa ia bisa menangis. Sayangnya, aku tak lihat Lani menangis. Saat dia bercerita tentang kejadian itu aku hanya berfikir, ternyata Wonder Women yang punya betis kawat tulang besi juga bisa menangis.. Tuhan Yang Maha Adil.. :P

Thursday 21 October 2010

JATIM ADVENTURE PART III [In the Heaven Island: Sempu]

:p


At Segara Anakan : Sempu


Boat at Teluk Semut


:))



Anak – anak Alam

Nah, kawan seperti yang telah kujelaskan sebelumnya bahwa waktu perpisahan dengan jeep putih kesayangan kami akan segera tiba. Dan waktu itu adalah siang ini. Setelah pagi tadi, sekembali dari Pananjakan, rombongan segera berkemas-kemas. Dan kawan, percaya atau tidak akhirnya aku bersedia mandi setelah semalam menolak mentah-mentah tawaran untuk mandi. Aku berasumsi bahwa mandi di pagi hari, tidak akan sedingin yang dikatakan oleh Dini, karena ia mandi di malam hari dan pagi ini juga mandi lagi. Tapi aku harus menelan pahit-pahit pil kekecewaan. Mandi pagi di Bromo, ternyata mampu membuat kulit bibirku biru dan pecah-pecah. Dingin bukan main, Kawan.

Setelah berkemas selesai. Perjalanan kami lanjutkan menuju ke titik awal kami bertemu dengan jeep putih kami, Tumpang. Perjalanan kembali ke Tumpang, kami digoda oleh sebuah pemandangan yang saat tiba 2 hari lalu tak kami lihat karena cuaca sedikit mendung. Tapi tidak pagi ini, Puncak Mahameru yang beberapa hari kemarin bersembunyi sekarang terlihat bersih dan jelas. Dia seperti menggoda kami, kurang ajar! Setelah tak diizinkan menapaki jalurnya sekarang ia seperti tersenyum mengejek kami. Aku perhatikan ia dari kejauhan. Dan perasaan itu berubah. Bukan! Mahameru bukan tersenyum mengejek, ia seperti mengucapkan selamat tinggal pada kami. Ia seperti membisikkan sesuatu padaku. Dan kata-kata itu terngiang jelas di telingaku

“Kutunggu kau untuk kembali kesini…” katanya.

***

Perjalanan kembali menuju Tumpang seperti sebuah kegiatan pengamatan. Kami banyak sekali melewati desa-desa dan rumah-rumah penduduk. Dan disana, masih kujumpai wajah-wajah penuh heran dan ingin tahu saat jeep kami melintas di depan pelataran rumah, atau di depan orang- orang tersebut. Dan satu hal lagi yang kutemui di siratan wajah-wajah lugu nan sederhana itu, sebuah ketulusan yang jarang dapat kutemukan diwajah-wajah yang biasa kuamati di kotaku, Jakarta.

Siang menjelang saat kami benar – benar meninggalkan bukit-bukit yang ada di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Rombongan memasuki Desa Tumpang. Langit cerah dan matahari bersinar terik, tetapi sebuah pemandangan menyejukkan hatiku. Pertama-tama kulihat sebuah titik-titik kecil bertebaran di depan jalan yang akan dilalui jeep putihku nan gagah. Titik itu berwarna cerah, secerah hatiku kala itu. semakin jeep putihku melaju, belakangan kutahu titik-titik itu adalah segerombolan anak-anak kecil yang berjalan pulang usai jam sekolah. Mereka tertawa. Riang dan tanpa beban. Bergerak dan berjingkrat-jingkrat, sepertinya bahagia tiada tara. Dan kebahagiaan itu mereka tularkan pada rombonganku yang kala itu melintas di samping mereka. Mereka berteriak, melambai-lambaikan tangan kecil mereka kearah kami, berlari-lari mengejar jeep yang tak bisa mereka kejar. Mereka symbol ketulusan dan kepolosan bangsa ini. Mereka adalah anak-anak pertiwi, mereka adalah anak-anak alam. Aku tersenyum dalam diam. Kubalas lambaian tangan mereka seperti yang juga dilakukan oleh para sahabat di rombonganku. Makin lama lambaian itu makin jauh dan menghilang, namun senyum tulus mereka tetap ikut bersama kami sampai kapanpun.

In The Heaven Island: Sempu

Dengan berat hati, kuumumkan perpisahan kami dengan jeep putih kesayangan telah berlangsung. Setelah berkemas, untuk keperluan kami menuju Pulau Sempu. Kami bergegas menaiki kendaraan baru yang akan mengantar kami untuk beberapa hari kedepan. Ah! apa ya, sebutan yang tepat untuk kendaraan baru kami? Dia tinggi besar, kuduga ia berwarna kuning, tetapi usia memaksa cat-cat berwarna mentereng di sekujur tubuhnya terkelupas di beberapa bagian. Sehingga ia seperti orang tua yang kena panu. cat-cat yang terkelupas itu menunjukkan bahwa ia adalah kendaraan yang pekerja keras, kuduga sebagai pengangkut pasir atau ternak sapi. Jadi kuputuskan untuk memanggilnya sebagai ‘Si truk pasir tua yang pekerja keras’. Apa? Apakah panggilan itu terlalu panjang, Kawan? baiklah kalau begitu aku akan memanggilnya dengan sebutan ‘Si truk dengan cat kuning terkelupas’. Hah? Masihkah itu terlalu panjang? Oke aku hanya akan menyebutnya dengan ‘Si Truk tua’, elok bukan panggilan itu?!

***

Si Truk tua siang itu mengantarkan kami menuju ke sebuah pesisir yang dikenal dengan sebutan, Sendang Biru. Sendang dalam bahasa jawa berarti laut. Jadi dapat kusimpulkan bahwa Sendang Biru berarti sebuah pesisir yang memiliki laut yang airnya biru. Dan memang benar, Kawan. biru bukan buatan. Indah tak terkatakan. Namun ternyata keindahan Sendang biru tak mampu menandingi primadona pesisir di selatan Jawa Timur: Sempu.

Sempu adalah sebuah gugusan pulau yang ada di sekitar Sendang Biru. Untuk mencapainya, pertama-tama kita harus menaiki perahu nelayan untuk menyeberang ke Teluk Semut. Sesampainya di Teluk Semut, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki kurang lebih 3 jam menuju ke sebuah pantai berpasir putih nan indah, eksotis, surga bagi para orang-orang yang mengaku traveler sejati, tempat itu bernama Segara Anak.

Kami tiba di Teluk Semut saat matahari tinggal sepenggalah dan menuju keperaduaannya. Setelah berdoa perjalanan menuju segara anak, dimulai. Dengan penerangan senter seadanya, aku dan rombongan menerabas hutan hujan Cagar Alam Pulau Sempu malam itu. Saat istirahat beberapa menit setelah 1 jam berjalan, baru kutahu bahwa tumbuhan yang tumbuh di hutan yang ada disini, akar-akarnya bukan tertancap di tanah, melainkan di karang-karang. Unik. Setelah kurang lebih beberapa jam berjalan. Sayup-sayup kudengar suara ombak memecah pantai. Kulayangkan pandangku. Kerlap-kerlip cahaya samar di bawah tebing disamping membuatku penasaran. Kubungkukkan badan, berusaha menangkap pemandangan yang terhampar dibawahku. Lama kuamati, hatiku terlonjak gembira saat kutahu itu adalah bias laut. Ya,laut Kawan. Rembulan separuh kala itu. Dan cahayanya terpantul berkilat-kilat di permukaan air Segara Anak. Aku percepat langkahku, kuturuni tebing yang tidak terlalu curam untuk menuju ke tepi pantainya, Lani didepanku sudah terlebih dulu berada di bawah. Dan Hup! Sampailah aku di Segara anak. Kulayangkan pandangku. Akhirnya impianku dan para sahabat menginjakkan kaki di Pulau Sempu terwujud malam itu. kulayangkan pandangku berkeliling, kudengar ombak menderu-deru di kejauhan, terpecah oleh karang-karang yang kokoh, seperti mengucapkan selamat datang pada kami.

***

Pantai di segara anak bukanlah sembarang pantai wahai Kawanku. Apakah kalian pernah menonton film Beach yang dibintangi Leonardo dicaprio? Seperti itulah Segara Anak, bahkan aku berani jamin dia lebih indah dari Pantai Phuket di Thailand yang menjadi latarbelakang film tersebut. Tak jauh dari garis pantai, karang-karang besar sambung menyambung mengelilinginya. Karang –karang itu seperti sengaja mengisolir Segara Anak dari deras dan ganasnya Samudra Hindia. Ya kawan, Samudra Hindia. Saat pagi tiba, cobalah untuk sedikit mendaki bukit- bukit karang yang ada disana, maka terhamparlah samudra biru itu sampai ke kaki langit. Ombaknya menderu-deru ganas tak kenal ampun, airnya sedingin salju bulan Desember di Eropa. Percayalah, hanya satu kata yang mampu melukiskan semua hal yang terjadi dan berada di Segara Anak, Subhanallah.

Namun, berbeda dengan ganas dan dinginnya Samudra Hindia, pantai Segara Anak begitu tenang dan bersahabat. Deru ombak samudra Hindia terbendung dengan adanya karang-karang di sekeliling pantai yang mengisolir pantai berpasir putih itu. Satu hal lagi yang menjadi daya tarik tiada duanya di segara anak, di ujung karang sebelah kiri, kalian akan melihat lekukan seperti gua, tetapi jangan salah! itu bukanlah sebuah gua, melainkan celah karang sempit yang terhubung langsung dengan samudra hindia yang tadi kuceritakan, Kawan. dari celah itulah ombak samudra hindia menelusup, mengendap-endap, mencoba mencuri-curi kesempatan menjadi penghuni segara anak yang cantik. Indah bukan buatan.

***

Rombongan kami tiba di tepi segara anak saat matahari benar-benar tenggelam dan malam telah benar-benar menunjukan dirinya. Segeralah raga kami bergerak cepat membangun tenda-tenda, tempat peraduan kami untuk malam ini. Tenda telah berdiri dan makan malam telah siap. Ombak dan bulan yang tinggal setengah masih juga tak mau beranjak dari sisi langit segara anak. Apa? kau ingin tahu menu makan malam kami, Kawan? Coba tebak? Yup! Tak lain tak bukan, mie rebus.

Aku sempat khawatir kalau-kalau usus kami semua jadi keriting karena kebanyakan makan mie rebus. tapi apa mau dikata. Kami bukan backpacker ulung dalam soal menyiapkan bahan untuk masak-memasak. Tak seperti senior-senior kami yang telah mahir soal memanjakan diri dengan makanan, kami adalah generasi serba sederhana, serba praktis, tak mau repot, dan satu lagi, Ehem! Serba kurang. Mulai dari kurang uang dan kurang gizi, hehe. Tapi biarlah, biar seperti itu. Biar serba kurang, ada satu hal yang mungkin tidak disadari oleh sebagian orang, dan itu sangat kubanggakan. Aku berani bertaruh bahwa kami adalah generasi serba seeeeeetia…...Kawan.

Perubahan Rencana

Kalau ada malam paling membuat gundah sepanjang perjalanan, malam inilah jawabannya. Tak berlebihan kalau pada malam ini, entah kenapa, raga jiwa kami seperti terserang suatu penyakit bernama “Pesimistis”. Kesepakatan yang telah kami rencanakan pra keberangkatan mengenai jalur pendakian Arjuna-Welirang, seperti mengganggu pikiran beberapa dari kami. Termasuk aku.

Mari kuceritakan sedikit, kawan. Arjuna-Welirang memiliki beberapa jalur pendakian. Beberapa yang sering digunakan oleh para pendaki adalah jalur Tretes dan Kaliandra. Pra-perjalanan, rombongan kami sepakat untuk menyetujui penggunaan jalur yang tidak banyak digunakan oleh pendaki kebanyakan. Maaf ya, aku lupa nama jalurnya. Yang jelas, jalur itu dapat langsung menuju puncak Arjuna dengan sekali jalan tanpa harus bermalam terlebih dahulu.

Yang menjadi masalah adalah, rombongan kami mulai merasakan dampak dan efek diterpa cuaca berbeda dalam waktu yang singkat. Kurang dari setengah hari yang lalu, kami berada di lembah-lembah tengger dengan suhu drop hingga minus, dan sekarang kami berada di pinggir pantai dengan suhu terik disiang harinya. Pendek kata, kami sudah cukup letih dengan perjalanan sebelumnya. Dan masalah yang lain datang dari waktu pendakian. Jalur yang telah sepakat kami gunakan, menuntut kami untuk lebih siap fisik dan mental karena kemungkinan besar untuk melakukan perjalanan pada malam hari adalah mutlak.

Bagiku, berjalan dimalam hari bukanlah perkara. Aku masih bisa bertaruh secara mental aku bisa menghadapi situasi seperti itu, mengingat dibeberapa pendakian sebelumnya, aku pernah mengalami berjalan dimalam hari. Namun, untuk sebagian sahabatku, khususnya perempuan dan baru pertama kalli melakukan pendakian mungkin sedikit banyak merisaukan. Itupun aku alami saat aku melakukan pendakian pertamaku.

Hal inilah yang menimbulkan perdebatan panjang malam itu. beberapa dari kami tetap pada keputusan awal, namun beberapa dari kami ingin pendakian ini dialihkan menggunakan jalur yang biasa digunakan oleh pendaki lain, Tretes.

Bagiku pribadi, lebih baik aku dianggap tidak konsisten atas apa yang sudah kuputuskan, daripada aku mengorbankan teman seperjalananku. Pepatah lama mengatakan “Terserah apa kata orang”. Aku melakukan perjalanan ini dengan espektasi bahwa kami semua (Kecuali senior-senior) harus sampai pada semua tujuan perjalanan. Mulai dari Ranu Regulo, Bromo, Pananjakan, Sempu, sampai Arjuna- Welirang. Dan kemungkinan beberapa dari kami tidak akan ikut serta jika kami tetap ngotot mendaki dari jalur awal sangat besar. Atas pertimbangan itu, aku berpendapat jalur pendakian kami kali ini harus dirubah. Dan dengan sedikit konflik, tujuan kami tercapai.

“Padahal anjingnya lucu, loh Din!”

Malam yang menegangkan itu ditutup dengan sebuah keputusan. Kami akan melanjutkan pendakian melalui jalur Tretes. Aku bernafas lega. Sebelum keputusan itu di buat Jafar dan Karin sempat berkata akan tinggal saja di Malang, dan tidak ikut mendaki Arjuna-Welirang. Tapi demi Tuhan, aku dan para sahabat akhirnya mampu membujuk dan berjanji akan membantunya dalam kesulitan apapun. Walaupun akan ada hal yang tidak terduga nantinya tentang Karin dan Jafar.

***

Malam hilang, pagi menjelang. Bulan tenggelam saat sinar surya menggeliat di timur segara anak. Aku keluar tenda saat matahari belum sepenuhnya muncul. Tidak gelap tapi belum juga terang. Kulihat peralatan masak yang kotor bekas semalam. Karin menggeliat bangun dan aku keluar. Menghirup udara pagi dengan hamparan birunya laut segara anakan. Aku berjingkat-jingkat girang ditepi pantainya. Kubiarkan ombak-ombak kecil menyentuh kaki-kakiku manja.Kulihat lelaki yang kuduga bagian dari rombongan yang juga bermalam di tepi segara anak. Hanya ada 3 rombongan kala itu termasuk rombonganku. Dan salah satu rombongan itu membawa orang asing. Yah, lagi-lagi ketemu bule. Kuperhatikan lelaki itu dari kejauhan. Ah, ternyata dia sedang mencuci peralatan makan yang kotor di tepi segara anak. Aku langsung teringat peralatan masak kotor yang tadi kulihat. Dengan kaki penuh dengan pasir, aku kembali menuju ke tenda, Karin telah terjaga saat aku menelusup ke depan tenda. Mencari-cari peralatan kotor yang juga akan kucuci disegara anak. Tepat saat itu, Karin ikut serta bersamaku keluar tenda juga dengan Mba Tri. Di tepian pantai, aku bermain kecipak air Segara anak sambil mencuci peralatan masak rombongan kami, tanpa sabun tentunya, karena itu di larang. Ombak samudera hindia memaksa masuk segara anak lewat celah sempit yang ada tak jauh dari bibir pantai. Deru ombaknya keras. Menimbulkan bunyi riuh yang tak terperi. Dan kuakui deru itu membuat pagi di Segara anak semakin menakjubkan.

***

Aku saat ini sedang terguncang-guncang di dalam sebuah kendaraan yang kusebut sebagai “Si Truk Tua”. Ingat kan? Ya kawan, truk yang mengantarkanku dan rombongan menuju ke Sendang Biru. Aku baru saja keluar dari areal hutan hujan pulau Sempu, dan dalam perjalanan menuju ke titik awal pendakian Arjuna Welirang. Menuju Tretes. Aku melamun, memikirkan kejadian demi kejadian yang mengantarkanku sampai pada siang ini. di atas truk yang berjalan ini.

Setelah selesai melakukan operasi semut di sekitar pulau Sempu, aku dan rombonganku dihadapkan pada dua pilihan yang mudah sekali untuk memilihnya. Mencoba berenang, atau tidak berenang sama sekali. dan aku memilih untuk berenang. Sebuah keputusan yang tidak kusesali. Kapan lagi berenang di pantai berpasir putih dengan pemandangan layaknya di surga. Aku berenang, merasakan air laut sempu yang sebenarnya ombak-ombak Samudra Hindia. aku tak peduli badan nanti jadi gatal-gatal, karena tak ada air tawar untuk membilas tubuh sehabis berenang. Biarlah! Biarkan aku merasakan matahari membakar kulitku, biarkan aku merasakan asinnya ombak samudra hindia. disini! Ya hanya di Sempu aku bisa mendapatkan itu.

Setelah sesi berenang selesai. Tiba-tiba semua orang berubah bak model professional dengan Mas Ago sebagai pengarah gayanya. Walhasil jepretan senior kami ini memang tiada bandingnya. Foto kami yang sedang berloncatan seperti anak kecil, sampai sekarang masih menjadi salah satu foto favoritku.

Selesai berkemas, kami (dengan sangat terpaksa) harus meninggalkan pulau kecil yang indah ini. lalu kembali menyeberang menggunakan kapal nelayan untuk tiba di Sendang Biru agar dapat langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Tretes. Setelah berleha-leha sejenak di Sendang Biru, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Tretes dengan “Si Truk Tua”. Dan disinilah aku sekarang terguncang-guncang di atas truk yang sekarang dihuni rombongan baru dan di tinggalkan beberapa rombongan lama. Ya, kawan, disini kami harus berpisah dengan beberapa teman seperjalanan kami. Mas Ago, Mas Rahman, Mba Tri, dan Mas Yudhas. Tapi kami mendapat teman seperjalanan baru bernama Mas Erik. Untuk Mba Tri dan Mas Yudhas, maaf ya kami cuma bisa ngasih mie rebus terus buat makan, hehehe lain kali kita akan masak enak!!

Ada sebuah kejadian yang tak terduga dalam perjalanan menuju Tretes ini. Alkisah, siang itu rombongan sepakat untuk mencari warung makan buat isi perut yang memang sudah bukan keroncongan lagi tapi dangdutan. Setelah ketemu warung makan sederhana, dan setelah selesai makan, tiba-tiba rombongan dikejutkan oleh suara teriakan perempuan dari arah luar warung makan. Penasaran, aku tengok keluar warung makan. Disana tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat Dini lari pontang-panting. Dibelakangnya setia mengekor anak-anak anjing yang jumlahnya aku lupa,mengejar-ngejar dini yang lari tanpa alas kaki.

Gilang mulai bersuara,

“Eh..Eh..”

Yang lain mulai panik,

“Dini kenapa?”

Dini sudah teriak-teriak histeris diikutin anak anjing yang sebenarnya kalau ditilik lebih jauh lucu loh!

“AAAAAA”

Masih teriak! Sekarang bawa-bawa nama Agung.

“AGUNG, AGUNG, AGUNG!”

Makin histeris

“AGUUUUUUUUUUUUUUUUUUUNG!”

Dan akhirnya..GUSRAK!

“Apaan tuh?”

“Dini dikejar anjing, Dini di kejar anjing!”

Lalu yang kuingat, Gilang memapahnya masuk warung makan sambil menahan tawa. Disebelahnya Dini gemetaran. Sepertinya shock berat. Saat kulihat, kulit di bagian ibu jari kakinya terkelupas. Pasti perih bukan main. Agung dengan sigap mengobati luka terbuka itu. tetap dengan shocknya, dini pasrah lukanya diobati. Lalu yang kudengar setelah itu adalah Braska tiba-tiba datang, dan bicara dengan ekspresi datar tak berdosa

“Padahal anjingnya lucu loh, Din!”

Dini sesenggukan....


NEXT JATIM ADVENTURE PART IV [Malam Pertama di Lereng Arjuno -Welirang]




Tuesday 5 October 2010

JATIM ADVENTURE PART II [ Hujan Bintang di Pananjakan ]

Here's some memory in Jatim Adventure part II

in Pananjakan, brrrrrrrrrrrr so cold

Fredom to be free, Wanda in Bromo Valley

Speed Racer

Tengger Caldera in the Morning

Bwaahahaha [ two thumbs up for Mas Ago]


Hujan Bintang di Pananjakan

Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Terlalu pagi untuk bangun dan bersiap-siap, tapi tidak bagi rombogan kami. Semakin pagi justru akan semakin baik dan memudahkan perjalanan kami menuju Pananjakan. Pananjakan adalah point of view yang paling indah dan digemari para turis yang mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, karena dari sana kita bisa melihat matahari terbit dan setelah matahari terbit kita akan dengan jelas melihat hamparan rangkaian pegunungan tengger. Mulai dari Gunung Batok, Bromo yang berada di sebelahnya, hingga si pencakar langit Pulau Jawa, Semeru.

Dan tak salah jika dikatakan bahwa Pananjakan adalah tempat yang digemari turis –turis asing yang berkunjung ke TNBTS ( Taman Nasional Bromo – Tengger – Semeru ), ini terbukti dengan banyaknya wisatawan asing yang hendak mengunjungi tempat ini, melebihi wisatawan domestic. Pananjakan dan segala keindahan yang sepertinya tak pernah disadari orang-orang pribumi, justru menjadi sebuah ikon wisata di tempat ini.

Perjalanan menuju tempat ini dimulai pukkul 03.00 dini hari. Tetap menggunakan jeep putih yang tidak pernah terlihat lelah, kami kembali mengarungi hamparan pasir Bromo. Padangnya hitam berkilat-kilat. Ada perasaan berbeda saat melaluinya dibandingkan kemarin saat kami baru tiba disini. Kawahnya tetap mengepulkan asap putih yang tetap terlihat walaupun matahari belum muncul hari itu. setelah melewati hamparan pasir Bromo. Jeep menanjak menuju kesebuah lembah. Berkelok-kelok. Di belakangnya bayangan Bromo dan Gn.Batok tetap setia mengikuti. Disana di atas lembah aku melihat banyak sekali titik-titik terang berjalan saling susul menyusul, yang kuketahui setelahnya bahwa itu adalah jeep-jeep yang juga akan menuju Pananjakan. Aku tercenung heran, seindah apakah tempat yang kutuju sekarang? Sehingga membuat orang-orang itu rela bangun dan melakukan perjalanan dini hari dengan udara dingin yang menusuk seperti ini. Perjalanan yang dilakukan dini hari itu, juga bukan tanpa sebab. Para pengendara jeep sengaja melakukan perjalanan sedini mungkin agar bisa dapat lahan parkir yang sesuai. Karena ternyata banyak juga yang harus memarkir jeep-jeep besar mereka berkilo-kilo meter sebelum lokasi, di sepanjang jalan menuju Pananjakan hanya karena berangkat terlalu siang dan tidak kebagian parkir. Sungguh tempat yang luar biasa bukan!

Perjalanan yang sebenarnya jauh itu, terasa begitu cepat. Aku dan rombongan turun dari jeep dan berjalan menuju poin of view. Sepanjang jalan yang lebarnya tidak sampai 10 meter itu, banyak sekali kios-kios kecil yang menjajakan cinderamata khas Bromo dan Pananjakan. Banyak pula orang-orang yang menawarkan jasa sewa jacket. Kulihat mereka mengacungkan jacket-jacket super tebal yang kuyakin akan terasa hangat, karena udara di sini memang brrrhhhhhhhhh, bikin tulang-tulangku ngilu. Mengingat kami sudah terbiasa dengan suhu Jakarta yang memang panas, diserang suhu se-ekstrem ini, aku dan banyak sahabatku dari rombongan kami mengerut kedinginan.

Di titik view terdapat bangku-bangku panjang yang menjulur, membentuk balcon besar ke lembah yang berada di depannya. Disana kami berebut tempat duduk dan hal yang dilakukan selanjutnya adalah menunggu matahari keluar dari peraduannya. Sebuah kegiatan yang sangat menyiksa, karena menunggu adalah kegiatan yang tidak banyak menggunakan anggota tubuh, dan di dalam suhu se-dingin ini, diam adalah pilihan yang kurang menguntungkan dan menghangatkan tentunya, kawan. Beruntung Indra, salah satu senior kami memasak air panas, menyeduh kopi dan teh untuk mengurangi hawa dingin yang menyergap. Ia juga memberi kami biscuit yang langsung kulahap begitu sahabat disebelahku menyodorkannya. Kuoper biscuit dan teh seduhan Indra itu pada sahabat di sebelahku, ia mengoper pada orang disebelahnya, lalu disebelahnya, disebelahnya, yak pindah ke bagian belakang, terus, terus sebelahnya,ah kawan, biscuit itu kembali padaku. Manis. Tapi mana teh-nya? Akh, itu dia! air didalamnya membiaskan isinya tinggal sepertiga, dan teh hangat itu masih berada di tangan seorang yang menjelma menjadi musafir yang tidak minum 3 hari. Dia menegak tandas teh panas yang kudambakan itu. Dan tanpa bersalah pada semua sahabatnya, masih dapat kudengar ia mengeluarkan suara

“Ahhhhh…Angettttttnyaaaaaaaaaa”

Coba tebak siapa itu kawan? Yah biarlah jadi rahasia...

Masih dengan biscuit yang tak habis-habis karena ukurannya memang besar, ritual oper-mengoper biscuit masih berjalan. Terus seperti itu sampai biscuit itu habis dan yang kami lakukan adalah menatap langit yang penuh dengan bintang. Dari timur ke barat bintang, dari utara ke selatan bintang. Bintang, bintang, ah bintang. Hanya ada bintang di langit Pananjakan.

Aku diam. Mencoba iseng menghitung bintang-bintang yang seakan berjejalan, berebut ingin menunjukkan dirinya padaku pagi buta itu. satu, dua, tiga, lima, sepuluh, lima belas, sepuluh, eh berapa tadi ya? Yah biarlah, biar begitu. Terus kuhitung, sampai sebuah suara membuyarkan kalkulasi bintang gemintangku. Bintang-bintangku terpental-pental tak karuan, gugusannya terputus oleh teriakan sebuah suara yang cenderung cempreng dan tak bersoneta sama sekali.

“EH!!!EH!! BINTANG JATUH!!” Lani berteriak.

“LIAT GA?LIAT GA?” kawan,sekarang kalian tahu kan, betapa norak dan udiknya orang-orang itu termasuk aku tentunya.

“SINTA LIAT GA? LIAT GA? TADI DISANA! GW JUGA GA SENGAJA LIATNYA” lani bersemangat. Aku berasumsi suaranya pasti mampu membuat bule-bule disana menengok dan mengucapkan sebuah kata.

“Crazy.”

Namun kawan, ternyata aku tak lebih norak dan udik ketimbang Lani, suaraku melengking putus asa, dan iri karena tak melihat kejadian yang dilihat oleh sahabatku itu.

“MANA?MANA? KOK LU GA BILANG-BILANG GW SIH! GW KAN JUGA PENGEN LIAT..”

“TADI DISITU COBA-COBA KITA LIATIN AJA SIAPA TAU ADA LAGI” ucap Lani, dan para wanita dirombonganku tiba-tiba histeris saat menengadahkan wajahnya.

“EH ITU TUH…ADA LAGI! YES GW LIAT” Karin berteriak disusul anggukan dari Dini.

“ITU ADA LAGI SIN! KARIN LIAT GA?” Lani berujar disusul anggukan dari Dini dan Karin.

Aku menengadah. Bola mataku berputar-putar menatap langit. Berusaha menangkap setiap gerakan sekecil apapun.Karin dan dini sudah lihat, Lani dua kali malah. Atas dasar gengsi dan ga mau kalah, aku bertekad akan mencari bintang jatuhku. Dan keinginanku terkabul. Tepat diatas kepalaku sebuah bintang bergerak ke arah timur, ekornya putih terulur panjang, dan bintang itu lenyap dibatas horizon. Aku dan beberapa orang dari rombongan berteriak kegirangan.

“ITU DIA BINTANG JATUH!!!!” ada pula yang berteriak.

“WOW!!!!” sebagian berujar,

“DASHYAT!!!!” yang lain berkata,

“SUBHANALLAH!!!!”

Dan bule disekeliling kami bergumam

“Freak.”

Bule Perancis..cantik!!

Perang bintang usai. Bukan, bukan! Bukan karena kami capek atau lelah berteriak-teriak. Tapi langit mulai cerah. Bintang-bintang itu lalu mengucapkan perpisahan pada kami dan tersapu matahari yang mulai muncul di ufuk timur. Sang Matahari yang baik hati dan pemurah. Ia sepertinya tahu betul bahwa kami semua kedinginan dari pukul 03.00 dini hari tadi, maka dikirimlah kehangatannya pada kami. Aku dan rombongan berdiri di atas kursi panjang yang sedari tadi kami duduki. Saat aku menoleh kebelakang, aku tercengang melihat begitu banyak anak manusia yang berada disana. Semua sibuk. Ada yang membawa kamera, kamera video, atau hanya sekedar melihat-lihat pemandangan langka ini. dan yang lebih membuatku tercengang adalah bahwa sebagian dari mereka adalah wisatawan asing. Memang ada juga beberapa wisatawan domestic, tapi dapat kupastikan jumlah mereka tak lebih dari setengahnya. Disini, di Pananjakan. Aku merasa menjadi si minoritas di negeri tempatku dilahirkan.

***

Aku dan beberapa sahabatku memisahkan diri dari rombongan. Kami sudah puas melihat matahari terbit. Dan yang sedang kami incar adalah pemandangan menakjubkan yang hanya bisa didapatkan disini. Aku berjalan ke arah kanan balcon. Menelusup kesela-sela manusia-manusia kaukasia yang tingginya jauh melebihi orang-orang pribumiku.

“Mau kemana sih, Jim?” tanyaku bingung pada Jimmy

“Udah ikutin aja” jawabnya cuek

Dan sampailah aku di sebuah tempat yang tidak terlalu penuh dengan wisatawan-wisatawan yang berlalu-lalang. Diujung balcon yang menjorong ke lembah itu, aku dan sahabat-sahabatku menuruni selapak tanah. Tak ada penghalang dipinggiran tebingnya. Tidak seperti balcon tempat kami duduk-duduk tadi yang memang dirancang sedemikian rupa. Namun disini, aku menemukan pemandangan yang……….Emhh, aduh bagaimana ya caranya aku menjelaskan padamu? kawan. Yang jelas pemandangan seperti itu adalah pemandangan yang takkan pernah bisa aku lupakan. Mungkin itu cukup menggambarkan betapa indahnya sesuatu yang kulihat.

Di tepi tebing itu, rangkaian pegunungan tengger menjelma layaknya manusia yang menggeliat bangun dipagi hari. Bromo menguapkan asap putihnya. Dibiarkan asapnya mengepul-ngepul meninggalkan bercak-bercak putih dilangit yang pagi itu cerah. Biru, kawan. Disampingnya Gn.Batok memamerkan lengan-lengannya yang hijau seumpama zamrud. Kokoh, seperti tak tersentuh. Dan disana! Ah, berdebar-debar aku menatapnya. Mahameru berdiri dengan angkuhnya. Sinar matahari mengelus sebagian tubuhnya, dan Ia seperti anak kecil yang menggeliat-liat tak ikhlas dibangunkan. Bulir-bulir pasirnya masih dapat kulihat walaupun ia sangat jauh. Ia acuh, dan sepertinya sengaja mengacuhkan semua anak manusia yang kini hanya bisa menatapnya dengan penuh kekaguman. Puncaknya adalah sebuah misteri yang selalu mengundang semua orang bermimpi menginjakkan kakinya disana. Aku terkesima melihatnya. Aku memandanginya lama sebelum berfoto bersama sahabat-sahabatku. Kutatap puncaknya. Tiba-tiba aku teringat Andika.

Mahameru masih diam. Masih angkuh dan acuh tak acuh, walaupun kabut putih nan pekat menyentuh lengan-lengan perkasanya, mencumbu hutan pinusnya, memprovokasinya di pagi yang cerah itu, ia tetap bungkam. Ia berbeda. Ya, kawan. Aku dan beberapa sahabatku dalam rombongan kami pernah sekali menginjakkan kakinya disana. Pernah juga melihatnya dari kejauhan seperti ini. Dan kami merasakan hal yang sama. Ia berbeda. Ia lebih bungkam dari sebelumnya. Kawah jonggring salokanya sama sekali tak mengepulkan asap dari beberapa bulan yang lalu. Kami mengetahui informasi itu dari salah seorang senior dalam rombongan kami. Dan atas dasar kejadian itu pula, kami terpaksa harus membatalkan pendakian kami kesana, karena pihak taman nasional tidak ingin mengambil resiko. Ia terlalu sepi, semeru seperti sedang tertidur tak peduli. Dan aku mendengar Jimmy berkata lirih dengan nada yang sedikit kesal kepada Mahameru di kejauhan,

“Kenapa sih lu?!!” ucapnya seperti menyapa teman yang sudah lama tak ditemuinya.

Setelah puas berfoto-foto aku dan kawan-kawan yang lain kembali ke balcon. Kami berkumpul bersama. Berfoto dan bercanda. Tak jua kulihat berkurang manusia-manusia disana. Aku menyapu pandangan sekeliling mencoba menebak-nebak dari mana asal bule-bule yang datang berjejalan itu.

Matanya sipit, kulitnya langsat, rambutnya hitam, pasti mereka manusia-manusia asia timur yang sering berceletuk “Arigato Gozaimasu!”. Ah, rambutnya pirang, tinggi besar dengan kulit kepucat-pucatan, meraka terlihat sangat efisien, gerakannya cepat, pakaiannya sederhana tak terlihat berlebihan, jelaslah mereka manusia-manusia dari belahan bumi eropa. Mereka punya beragam cara dan bahasa yang berbeda,

Oik..oik..” itulah cara turis belanda menyapa orang-orang di sekitarnya. Tak jarang kudengar sapaan yang berbahasa halus, dan empuk terdengar di telingaku,

Allright, lof” atau “Dear..” adalah suku kata yang biasa digunakan oleh orang-orang britania raya. Ada juga turis asing yang sering bergumam dengan suku kata yang banyak sekali menggunakan huruf s dan k sehingga asing di telingaku, kuduga mereka berasal dari negeri beruang merah yang daratannya hampir separuh dunia, Rusia. Dan disana, aku juga melihat beberapa manusia yang sama sekali tak asing di mataku. Mereka berpencaran, terdesak-desak oleh para raksasa kaukasia yang jauh lebih tinggi ketimbang tubuh mereka. mereka sama sekali tidak efisien, dan sama sepertiku, terlihat sangat kedinginan. Yah, itulah orang-orang pribumi, kawan. Mereka mungkin tidak efisien dan kurang dalam segala hal, tapi satu yang membanggakan, mereka satu-satunya makhluk teramah di Pananjakan ini. Dan keramahan mereka seperti menular pada semua manusia-manusia yang ada disini termasuk pada turis-turis asing itu.

Aku sedang asik mengamati sekeliling. Kulihat 2 orang turis asing wanita tak jauh dari tempat rombonganku berada. Mereka asik mengobrol. Salah satu dari mereka yang berambut gelap berkata dengan kalimat-kalimat yang kutahu adalah bahasa perancis. Aku mengamati mereka. dan sepertinya mereka juga tak luput dari pengamatan salah seorang sahabatku bernama…………………. Braska.

Braska sepertinya benar-benar kepincut salah satu bule perancis itu. Kuamati wajah bule itu dari kejauhan. Memang cantik sih, dan seperti tak bosan melihatnya. Pantas saja para laki-laki dikelompokku seperti kelojotan kena auranya. Cantik. dan tahukah kawan? Apa yang dikatakan Braska pada kami saat kami akhirnya berjalan kembali menuju jeep untuk kembali ke penginapan?

“Anjrittt, cantik banget!!” dikuti sebuah tawa terkekeh. Belum selesai sampai disitu. Ditunggunya bule perancis itu turun. Dan yup itu dia. Berjalan santai dengan temannya. Ya, hanya mereka berdua.

“Samperin yuk..berani ga lu, Bras!??” sebuah tantangan keluar.

“Berani!!” Braska membusungkan dada. Dan apa yang terjadi? Ah, lupakan. Lupakan saja kawan. Tak pernah hal itu terjadi. Braska hanya mampu mendekat tapi tak pernah ditegurnya bule perancis nan semlohai itu. Tapi seolah tak mau menanggung malu, ia mengakui sebuah hal yang muskil.

“Tadi dia senyum ke gue loh!!!!” para sahabatku mengerutkan kening. Berusaha percaya tapi takut berdosa. Braska melihat keragu-raguan di wajah kami, dan ia tak menyerah.

“ Beneran!!! Dia tadi senyum ke gue…bener deh..” Dilematis.

“ BENERAN..!!” kami tersenyum kecut

“ SUMPAH!!! DIA SENYUM KEGUE” dia tetap berusaha

“SUMPAH!!!!!!!!!!!!!”

Pendar Kabut dan Kuda-Kuda Bromo

Kurang lebih pukul 08.00 pagi, kami bertolak kembali menuju penginapan. Lagi-lagi dengan menggunakan jeep yang telah kami ikrarkan sebagai kendaraan tersayang kami selama perjalanan ini. Tapi ternyata jeep putih nan kokoh dan gagah itu harus segera meninggalkan kami. Namun tidak sekarang, nanti kawan, saat kami menuju ke sebuah pulau surga bernama Sempu.

Jeep putih kami kembali melewati lembah-lembah sempit, yang di apit jurang dan tebing. Sepanjang jalan banyak sekali terdapat peringatan bahaya longsor. Aku mengamati tebing-tebing yang tinggi menjulang di samping kiri dan kananku, sesekali terdapat tumbuhan dengan batang-batang yang penuh dengan ranting yang bercabang-cabang. Cabang-cabangnya ditumbuhi daun-daun seperti jarum yang bergerombol membentuk lingkaran di sekelilingnya. Di ujung cabang teratas akan kita jumpai bunga-bunga putih yang berdesak-desakan, berjelajalan ramai, bunga itu bulat-bulat dengan ujung yang berwarna sedikit kuning. Kawan, taukah kau? Itulah Edelweis Anaphalis Javanica. Tumbuhan yang sering dilambangkan sebagai bunga abadi.

Setelah melewati sebuah pertigaan, kami kembali menuruni jalanan berpasir, tanda bahwa kami akan kembali mengarungi padang pasir hitam Bromo. Pendar kabut putih pekat yang tadi kami lihat di ketinggian pananjakan mulai menyergap. Matahari dan kehangatannya tiba-tiba menghilang. Kabut Bromo tak membiarkan kehangatan itu bertahan lama. Tak berlebihan jika kukatakan bahwa dinginnya melebihi Pananjakan. Karena kami sekarang berada di atas jeep yang sedang ngebut, angin lembah Bromo yang menerpa tubuh kami menambah dingin menjadi semakin dingin. Aku mengerut, kedinginan membuat hidungku tak berhenti mengeluarkan cairan. Di sana, di padang pasir Bromo, jeep putih kami tak sendiri. Banyak sekali jeep-jeep lain saling berkejaran. Berkelok-kelok seolah ingin mendahului jeep-jeep lain. Tiba-tiba aku teringat film kartun Speed Racer. Jeep-jeep mendekati Bromo. Dan pemandangan tak biasa kembali menghampiri penglihatan kami. Banyak sekali penunggang kuda yang memacu kuda-kudanya dengan kecepatan luar biasa di samping badan jeep yang masih terus melaju. Penunggang-penunggang itu berebut pengunjung yang mungkin menyewa kuda mereka menuju ke tepi anak tangga Bromo. Ingat kan tentang ceritaku sebelumnya, kawan? bahwa jarak dari tempat parkir jeep menuju ke tepi anak tangga Bromo tidaklah dekat, maka kebanyakan pengunjung akan menyewa kuda-kuda penunggang di Bromo untuk menuju kesana. Namun tidak untuk kami. Jeep kami tidak berhenti di Bromo, melainkan terus melaju karena kami telah mengunjungi Bromo sebelumnya. Aku menoleh kebelakang. Pemandangan Bromo dan kuda-kuda penunggangnya ditambah pendar kabut mengingatkanku pada film kolosal Lord Of The Ring. Mistis...

Next : JATIM ADVENTURE PART III [In The Heaven Island : Sempu]