Monday 15 November 2010

JATIM ADVENTURE LAST PART [ NEGERI DI AWAN]

summit


negeri di awan 1


Negeri di awan 2


rocks


Negeri di Awan

Aku benci turun, walaupun tak terlalu suka naik. Aku selalu bermasalah dengan yang namanya turun. Kaki selalu gemetar, dengkul rasanya ngilu, walhasil selalu jatuh. Hal itulah yang terjadi saat turun dari puncak Arjuna.

Ditengah perjalanan turun, haus kembali menghadang. Langkah kupercepat karena hari mulai merambat sore. Di sebuah tempat bernama lembah kijang, dendam itu kulampiaskan.

Cerita dimulai saat rombongan benar –benar tak punya lagi persediaan air. Aku dehidrasi dan frustasi begitupun sebagian besar orang dalam rombongan ini, dan aku hanya minum seteguk air di puncak tadi. Jatah perorang hanya 1 tutup botol saja. Maka aku seperti kesetanan saat hampir tiba di lembah kijang. Hal itu terjadi karena dari ketinggian, aku melihat Oki dan Lani mengacung-acungkan botol minum penuh air yang mereka isi di dari mata air yang memang baru ada di Lembah Kijang saat perjalanan turun. Merekal berteriak –teriak. Aku tak terlalu peduli kata –kata apa yang ia teriakan, yang jelas saat itu mereka berdua tiba –tiba mempunyai sayap putih, dengan air muka bercahaya, dan punya lingkaran emas di atas kepalanya. Segera kutahu merekalah malaikat penyelamatku. Yang kutahu berikutnya adalah aku meneguk lebih dari 2 botol penuh air hingga kembung. Ah, betapa Tuhan maha pemurah, aku tak bisa membayangkan jika di dunia ini tak ada air.

Selanjutnya yang terjadi adalah langkah –langkahku terasa ringan hingga sampailah aku di camp Pondok Welirang. Tak banyak waktu untuk akhirnya kami benar –benar istirahat setelah makan malam. Aku dan rombongan bersiap –siap untuk menuju puncak impian ke-2 kami dini hari nanti, puncak Welirang.

Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, kami melakukan perjalanan menakjubkan menuju puncak Welirang. Aku bilang menakjubkan karena disana, di ketinggian tertentu kalian akan mellihat lautan awan bergumpal –gumpal. Aku tiba di batas vegetasi menjelang fajar, dan aku sama sekali tak pernah menyesal melakukan perjalanan yang melelahkan ini. Bagaimana tidak, tepat dihadapanku terdampar sebuah negeri di awan. Di ujungnya fajar merah merekah basah menjadikan lautan awan itu seperti mawar. Merah –merah, oranye –oranye, bercampur sedikit putih dan kelabu. Awan –awan itu seperti punya kisah tentang negeri tersembunyi yang hanya bisa kau temukan disini. Indah bukan buatan, negeri di atas awan itu, Kawanku. Di sini, di batas vertical antara langit dan bumi kutemukan dunia dengan ceritanya tersendiri. Cerita –cerita tentang manusia, tentang kelelahan, tentang kebebasan, tentang keindahan bersahabat, dan tentang pantang menyerah.

Air Mata di Puncak Welirang

Matahari telah merekah saat kami hampir tiba di puncak Welirang. Dan lagi –lagi aku menjadi satu –satunya orang yang belum menyentuh puncaknya. Berbeda dengan Arjuna, puncak Welirang sangat terbuka. Tak satupun tanaman tumbuh disana, yang ada hanya kerikil –kerikil pucat berdebu, dan belerang. Baunya menyengat penciumanku, membuatku sesak, ditambah di ketinggian ini, suhu drop sejadi –jadinya. Pernafasanku tercekat.

Dari jauh, kulihat kawan –kawan seperjalananku. Mereka melambai sambil meneriakan teriakan semangat padaku. Aku menyeret langkahku. Kerikil –kerikil yang ada di jalur berjatuhan ke bawah. Aku hanya melangkah setapak demi setapak dan tak peduli sudah berapa dekat aku dengan puncak, yang kulakukan hanya melangkah dan melangkah. Yang kutahu kemudian adalah, sebuah tangan terulur padaku, aku lupa itu tangan siapa. Yang jelas aku menggapai tangan itu, dan tangan itu menarikku ke atas, ke puncak impian, puncak Welirang. Aku tak bisa bicara, pipiku basah oleh air mata. Saat berdoa di puncak, Rendypun menangis, terharu ia, akhirnya sebuah tujuan itu tercapai. sebuah impian lain terwujud. Aku menangis, Rendy menangis, dan air mata itu jatuh di puncak Welirang.

Satu Impian Lagi, dan Satu Perjuangan Lagi

Aku masih setengah sadar, antara tertidur dan terjaga saat mobil elf besar itu berguncang guncang di jalanan menuju kembali ke Malang. Hari sudah gelap, dan tadi, saat kami tiba kembali di pos pendaftaran awalpun hari sudah merambat gelap.

Aku menatap sepi ke arah jalan. Nasi goreng, nasi padang, sate ayam, gorengan, semua tenda –tenda makanan itu berjejalan memenuhi penglihatanku. Menggelitik perutku yang sudah lebih dari beberapa hari ini tak makan dengan layak. Beralih dari jalanan kota, penglihatanku memperhatikan wajah –wajah sahabatku satu persatu. Kelelahan membuat mereka cepat tertidur. Di antara wajah –wajah itu, terselip cerita –cerita menakjubkan selama perjalanan ini berlangsung.

Aku teringat saat Lani memperlihatkan sebuah sms dari Karin saat rombongan kami baru saja turun dan sampai di pos awal pendakian.

Lani, Dini, Nta, cepetan turun dong, gue udah kangen nih..

Teringat perpisahan yang begitu membuatku menyesal saat berada di jalur menuju pondok Welirang bersama mereka, Karin dan Jafar. Saat ini, mereka telah berada di Malang. Menunggu kami kembali. Ingin sekali cepat bertemu mereka, menceritakan tempat –tempat menakjubkan yang tersembunyi di dinding –dinding lereng Arjuna Welirang, tentang awan –awan tinggi yang berkisah soal persahabatan, tentang puncak –puncak impian Arjuna Welirang, tentang turis –turis botol minum itu, tentang air mata kami, tentang tawa kami, dan tentang janji –janji pada mereka untuk kembali merajut mimpi –mimpi kami yang lain, dan aku berjanji untuk tidak gampang menyerah memberikan mereka semangat, bahkan saat mereka sudah menyerah sekalipun.

Satu lagi impian terwujud. Dan kami telah banyak sekali menemukan pelajaran tentang perjuangan untuk meraihnya. Tuhan! Beri kami satu impian lagi, dan beri kami satu perjuangan lagi.

Malang –Tumpang –Coban Pelangi –Ranu Pane –Ranu Regulo –Bromo –Pananjakan –Sempu –Arjuna –Welirang