Sunday 31 July 2011

MENUNGGU PAGI



Carrier yang kubawa terasa menghimpit dipundak. Kulit punggungku terasa tertarik disetiap helaan nafas yang kuhela, karena beban yang kubawa tak bisa dibilang ringan.

“Mau dibantu, Lani?” sebuah suara terdengar dari sosok lelaki yang tiba-tiba muncul disampingku dan sebuah anggukan menjawab pertanyaan itu.

Yo, wes sini ranselnya” setelah berkata demikian, tangan kekarnya mengangkat semua beban yang menempel ditubuhku.

Sosok itu berjalan sambil menenteng ranselku yang terlihat begitu ringan ditangannya, kemudian meletakkannya diatap jeep yang akan kami tumpangi untuk kembali ke penginapan, sebelum kembali pulang ke Jakarta.

Huh, pulang. Entah kenapa kata itu begitu menyakitkan bagiku sekarang. Aku tahu sekali konsekuensi dari ini semua. Maka dari itu, sedari awal, saat aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta sama kamu, aku telah menyiapkan diri untuk perpisahan ini. Tapi sekarang aku merasa persiapan itu sia-sia.

Jeep yang akan kami tumpangi telah sesak atapnya oleh barang bawaan. Tak terlihat berkurang juga isinya, padahal genap sepuluh hari sudah aku bersama kelima sahabatku ini menghabiskan waktu sejenak, melepas lelah pikiran selama liburan kuliah. Dan genap sepuluh hari sudah Mas Reno memandu perjalanan kami dengan land cruisernya.

“Gimana asik ga jalan-jalannya? Mau kemana lagi nih..? ta’ anterke ayo..” Seperti biasa Mas Reno memancing perbincangan. Wajahnya dipalingkan ke jok belakang, memperhatikan wajah-wajah sahabatku yang lelah tetapi puas dengan perjalanan kami.

“Wah Mas tekor deh, uang kerja magang kita habis semua dong buat bayar Mas..ga ada bonus nanti” aku yang duduk di jok paling depan, diantara dia dan temannya, yang bernama Mas Ari. berkata disambut riuh sahabatku.

“Iya nih, Mas. Udah dulu deh, kan semua tempat seru di sekitar Malang udah kita datengin” Rio salah satu dari ke tiga sahabat lelakiku yang ikut serta dalam perjalanan ini menimpali.

Mas Reno tertawa sambil menyalakan mesin jeepnya, malam ini, rombongan kami yang baru tiba sekitar 3 jam yang lalu di ranu pane ( pos pertama pendakian gunung semeru), akan beranjak turun kembali ke desa Tumpang untuk bermalam sebelum keesokan harinya mengejar kereta ke Jakarta.

Jeep terlihat menuruni bukit-bukit yang terjal, tak lama kemudian melewati desa-desa kecil tempat orang-orang suku Tengger bermukim. Mas Reno terlihat berkonsentrasi sekali mengemudikan jeep land cruisernya. Hanya sesekali ia melontarkan tawanya karena mendengar gurauan sahabat-sahabatku di jok belakang. Dan hanya sekali, sekali saja, ia menoleh, menatapku lalu tersenyum. Sebuah senyuman yang pastinya akan kurindukan saat aku kembali pulang nanti.

“Mas Reno, habis nganterin kita, nganterin orang lagi ya?” aku mencoba memancing pembicaraan.

Orang yang kutanya menoleh menatapku, kemudian berkata, “Emh, kayanya ndak deh, Lan. Aku mau ngejar mata kuliah yang ndak lulus semester lalu. Kayanya aku mau ikut semester pendek deh” jawabnya padaku, sekeras-kerasnya ia menyembunyikan logat aslinya toh, tetap saja terdengar ditelingaku. Dan itu merupakan nilai tambah dari dirinya dimataku.

“Oh, ntar kalo Lani udah balik ke Jakarta, jangan lupa kirim-kirim kabar ya, Mas” ucapanku itu terlontar begitu saja.

Mas Reno menoleh sekali lagi kepadaku. Dan kusunggingkan senyum yang termanis sebisaku.

“Belum pergi kok udah kangen sama Mas,sih?” ucapannya yang tak tahu bercanda atau serius itu membuat wajahku terasa panas. Aku segera memalingkan muka ke jendela. Memperhatikan alam tengger diwaktu malam, membuat perasaanku dirundung rindu yang aneh. Kenangan selama pendakian Semeru berkelebat di depan mataku. Hutannya, Ranu Pane, Ranu Kumbolo, Pasirnya, Mahameru, semua bertumpuk meninggalkan suatu perasaan yang tidak pasti. Aku dan sahabat-sahabatku setuju, bahwa diantara seluruh perjalanan kita di Malang, mulai dari pulau Sempu, Bromo, Pendakian Semerulah yang paling membuat kami semua sadar bahwa kami akan sangat merindukan tempat ini. Begitupun aku, aku akan sangat merindukan setiap jengkal kenangan yang kuukir bersama kamu, Mas. Aku tahu pasti aku akan sangat rindu sama kamu.

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa Mas Reno adalah mahasiswa semester akhir (katanya!) yang juga mempunyai pekerjaan sambilan yaitu menjadi guide bagi orang-orang yang berniat melakukan pendakian ke gunung-gunung yang berada disekitar kota Malang. Ia biasa pergi bersama seorang temannya yang bernama Mas Ari, yang juga seorang pengendara dan empunya jeep yang biasa disewakan untuk mengantar para pendaki dari kota Malang hingga pos awal pendakian. Hanya pada kali ini, Mas Ari hanya mengantarkan, dan tidak ikut mendaki.

Kurang lebih satu jam perjalanan, rombongan tiba di desa Tumpang, Mas Reno menepikan jeepnya disebuah rumah sederhana. Dihalaman depan yang tidak begitu luas, beberapa jeep terparkir berdesak- desakan. Cak nu, pemilik rumah dan ayanhanda Mas Ari ini, menyapa kami ramah dan berbasa-basi menanyakan pendakian kami. Kediaman Cak Nu memang biasa digunakan oleh para pendaki untuk beristirahat sebelum atau setelah melakukan pendakian, tak terkecuali kami. Setelah mengobrol sebentar, kami dipersilahkan untuk menempati satu-satunya ruangan untuk tamu yang bermalam. Layaknya sebuah losmen, diruangan itu terdapat tempat tidur bertingkat untuk kami beristirahat. Aku menjatuhkan ransel sekenanya di atas lantai. Hal yang harus dilakukan para pendaki yang baru turun gunung dan menemukan peradaban : mandi, buang air, dan makan enak. Tiga hal yang agak riskan untuk dilakukan dihutan. Teorikku terbukti benar, aku dan kelima temanku berebut untuk menjadi yang lebih dulu ke kamar mandi. Hanya Mas Reno yang sedari tadi anteng saja membereskan barang bawaan yang ada di dalam ranselnya. Keberuntungan tak memihakku, setelah sepakat menyelesaikan masalah dengan melakukan hom pim pah, aku mendapat giliran terakhir. Aku kembali ke kamar dan langsung mengenyahkan tubuhku di atas kasur. Mas Reno terlihat menutup ranselnya. Aku yang sejak tadi memperhatikannya, kemudian mengeluarkan suara.

“Mas reno ga mandi?” tanyaku. Ia menoleh sambil sibuk mencari sesuatu disaku celananya.

“Nanti aja..masih banyak yang ngantri kan..” jawabnya

“Nanti aja atau malah niat ga mau mandi nih?” candaku

“Emang kenapa kalo aku ndak Mandi?” tanyanya

“Ya, joroklah abis turun gunung, keluar masuk hutan kok ga mandi” jawabku, bersamaan dengan itu masuk Rio yang ikut berkomentar,

“Ga mandi aja ada yang naksir ya ga,Mas..?” ujarnya disusul sebuah anggukan oleh Mas Reno.

“Emang siapa yang naksir orang yang belum mandi kaya, Mas?” tanyaku iseng

“Ga tau tuh siapa ya, Mas?” Tanya Rio pada Mas Reno.

“Ga tau tuh, Yo. Lani kali ya..” Jawab Mas Reno. Tawa renyah terlontar dari bibir Rio. Aduh, sahabatku yang satu ini emang rese. Aku Cuma bisa diam, tak bisa membantah karena memang semua itu benar. Tiba-tiba Mas Reno berkata.

“Lani, ikut aku yuk?”

“Kemana?” aku menatapnya heran.

“Kamu belum makan, kan? Dideket sini ada warung yang jual nasi rawon enak..”

Aku diam. Bingung akan ajakan yang mendadak itu. Namun akhirnya aku mengangguk juga. Rio berdehem-dehem keras minta diajak ikut.

“Maaf ya Rio, kali ini aku ndak bisa ngajak kamu. Ini eksklusif soalnya.” Jawab Mas Reno,seolah tahu pikiran Rio.

Setelah mengenakan jaket dan mengambil uang secukupnya, aku dan Mas reno berjalan keluar rumah. Desa Tumpang di malam hari,sepi dan dingin. Tapi entah kenapa hatiku terasa hangat berjalan berdampingan dengannya.

Mas Reno mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Ia meniupkan asap rokok dari mulutnya, angin memainkannya sampai terbang dan hilang di atas kepalaku. Entah kenapa hatiku bergetar, ada sesuatu yang harusnya sekarang kusampaikan atau tidak sama sekali. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah desahan panjang dan berkata sambil terus berjalan disampingku,

“Besok pulang ya, Lan?” tanyanya. Sebelum aku menjawab ia berkata lagi,

“Kamu kapan balik lagi ke Malang?”

Aku tersenyum dan menjawab jahil

“Belum pergi kok udah kangen sama aku, sih” ucapku meniru persis ucapannya saat di jeep tadi. Ia melepaskan tawa renyahnya, kemudian berkata dengan getir, dan perkataannya mengejutkanku.

“Iya aku pasti kangen banget sama kamu”

Aku berpaling. Tak berani menatap wajahnya.

“Lan? Kok diem?” tanyanya

Aku berhenti berjalan. Dia menatapku heran. Kupandangi wajahnya lama-lama, mencoba mencari jawaban atas kegelisahan hatiku. Aku sangat tertarik padanya, tapi seberapa jauh itu aku belum berani menyimpulkan. Yang ku tahu aku akan sangat kehilangan dia saat aku kembali pulang nanti.

“Mas berharap aku bicara apa?” tanyaku

Dia menatapku lama kemudian berkata.

“Aku hanya ingin kamu berani mengungkapkan apa yang ada dihati kamu.”

“Walaupun ada kemungkinan itu bisa membuat Mas kecewa?” tanyaku hati-hati

“Kenapa ndak? Yang jelas aku sudah berani bicara. Entah sejak kapan, aku tertarik sama kamu,Lan. Aku mengakui kamu sangat mencuri perhatian aku selama perjalanan ini. Dan aku melihat hal yang sama di mata kamu. Yang sekarang aku mau tanyakan, apakah yang aku rasakan itu benar, atau aku hanya terbawa perasaan saja. Padahal kamu ga mempunyai perasaan apa-apa sama aku?”

Aku diam.

“Lan?” Mas Reno mendesakku

“Apa ini ga terlalu cepat, Mas? Kita baru ketemu 2 minggu yang lalu” ungkapku

“Karena waktu, Lan..waktu yang mendesakku untuk mengetahui semuanya. Aku dan kamu sama-sama ga mempunyai waktu itu. Aku cuma ingin kamu menegaskan perasaan kamu terhadap aku. Jika kamu ndak punya perasaan apa-apa sama aku, berarti aku salah sangka, dan aku akan minta maaf dan melepas kamu untuk kembali pulang besok dengan tenang….

“Jika ternyata, Mas bener?” tanyaku tiba-tiba memotong bicaranya.

Mas Reno diam, seperti sengaja membiarkan perasaanku terselubung tanya. Jalanan di Desa Tumpang pada malam itu lengang, hanya sesekali kendaraan lewat dan memecah kesunyian dari obrolan kami. Dan suara Mas Reno memecah kebekuan hatiku,

“Jika yang aku sangka benar, bahwa kamu memang punya perasaan buat aku… aku akan tanya sekali lagi sama kamu…” ia terdiam sebentar, lalu melangkah mendekatiku,

“Kamu mau pilih untuk membiarkan perasaan itu berlalu dan hilang, seiring kepulangan kamu ke Jakarta? Atau, kamu memilih untuk membiarkan dan merawat perasaan itu, sampai aku menyusul kamu ke Jakarta dengan membawa kedua orangtuaku?” ucapnya.

Aku diam mendengar kalimat terakhir yang ia ucapkan. Tak bisa diungkapkan apa yang aku rasakan. Tuhan seperti membuat aku jatuh cinta dengan mudah, tapi tak membiarkan aku mendapatkannya dengan mudah. Mas Reno, gimana aku mengungkapkan semua ini, aku sayang kamu tapi aku tak berani memulai sesuatu dalam waktu secepat ini.

Mas Reno seperti mengetahui kegundahanku. Ia menggandeng lenganku, sambil berjalan dan kami duduk di sebuah emper toko kelontong yang sudah tutup. Masih dengan sebatang rokoknya ia berkata,

“Jawab, Lan. Walaupun itu menyakitkan nantinya buat aku ataupun kamu”

Aku menatapnya lama-lama. Mencoba mencari jawaban di tatapan matanya yang sedang menerawang jauh. Entah apa yang membuat aku jatuh hati pada makhluk disampingku ini. perawakannya seperti pria kebanyakan. Tak ada yang terlihat istimewa, hanya saja ada sifat-sifat yang tak kutemukan di pria manapun yang pernah aku kenal.

Aku teringat perjalanan saat aku mendaki semeru. Dia adalah satu-satunya orang yang mau menungguku saat aku terkulai lemah di jalur pendakian puncak Mahameru, dia satu-satunya orang yang percaya bahwa aku bisa sampai puncaknya, dia yang pertama mengulurkan tangannya padaku saat aku menggapai puncak mahameru. Dia orang yang rela memberikan jaketnya padaku saat aku lupa membawa jaketku di bromo, dan membiarkan dirinya membeku kedinginan.

“Lan, aku masih nunggu jawaban kamu nih..” ucapnya diselingi tawa kecil.

“Mas, aku..aku ga bisa, Mas.” Perkataanku membuatnya menoleh. Dibuangnnya rokok yang sedari tadi berada diantara jemarinya.

“Maksud kamu?” tanyanya menegaskan,

“Aku ga bisa, Mas. Aku ga bisa nunggu kamu lama-lama di Jakarta. Kamu harus janji sama aku, jangan terlalu lama membuat aku menunggu. Cepat selesaiin kuliah kamu, dan bawa orang tua kamu buat ketemu keluargaku.”

Senyuman merekah dibibirnya. Dia sudah akan membuka mulut, saat aku bicara,

“Dan satu lagi. Kamu harus janji mulai sekarang harus rajin mandi.” Ucapku.

Tak terasa aku sudah berada di pelukannya.

“Mas, kamu kan belum mandi, udah berani meluk-meluk aku” protesku.

“Kamu juga belum mandi, adil donk. Sama-sama dapet baunya.” Ucapnya dikuti tawa renyah yang membuat perasaanku terbang setinggi bulan.

Biarlah, biarlah masa depan dan jarak nantinya akan membuat itu semua gelap. Walaupun pertemuan kami terjadi secara singkat. Namun, ia sudah dapat membuktikan padaku perasaannya tak main-main. Mas Reno, aku akan menjaga ini, dan menunggu kamu.

“Eh, jadi makan ga nih?” tanyanya tiba-tiba.

“Jadi dong, laper nih. Tapi emang masih buka? udah malem gini” tanyaku

“Masih dong, emang di Jakarta aja yang ada warteg 24 jam, disini juga ada” sambil berjalan disampingku.

“Tau dari mana di Jakarta ada warteg 24 Jam?”

“Yah, nebak aja..”

“Dasar, Mas tuh sok tahu, aku aja ga tahu ada warteg yang bukanya 24 jam”

Kami bergandengan, melangkah dijalan yang masih lengang. Jalan di depanku terbentang, gelap dan panjang. Namun aku tahu, aku tak perlu takut lagi. Karena Mas reno disampingku kini.

“Eh, jangan lupa mandi yah, Mas?”

Mas Reno menggangguk.

Aku tersenyum.

***