Sunday 14 August 2011

1 UNREAD MESSAGE



“Mav datengnya kemalaman ya?” kamu tersenyum. Berusaha mengembalikan raut muka ceriaku. Sedangkan aku hanya bisa manyun melihat jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 22.00.

“Tadi masih banyak yang harus di kerjain, maaf ya…” masih dengan senyummu, dan aku,

Menyerah…

Pasrah…..

Mengalah pada senyum itu….

Kalau dipikir –pikir, kamu memang curang Mas Raja, entah kenapa hanya dengan senyummu, aku bisa memaafkan semua kesalahan –kesalahanmu dengan mudah. Senyum itu semanis buah semangka, legit, segar ke tenggorokan, dan menciptakan efek ingin memakannya lagi dan lagi. Sama seperti senyumanmu, rasanya aku ingin melihatnya lagi dan lagi.

Aku berkhayal, dan kamu…

Masih tersenyum…

***

Jam dinding menunjukkan pukul 23.00. suatu waktu dimana aku ingin sekali jam dinding itu bisu, waktu terhenti, dan kamu tetap disini. Disampingku. Seperti tadi. Berbicara tentang hidup dan penghidupan, tentang hal –hal ringan yang membuatku makin mengenalmu.

Mas raja…

Tak genap setahun aku mengenalmu, dan kamu, entah kenapa senyum semangka itu merindukan sekali.

Kalau ditanya aku jatuh cinta? Mungkin. Tapi tak berani aku berspekulasi. Cinta yang seperti apa yang aku harap darimu? Bah!! Bahkan aku pun tak berani bermimpi dicintai oleh kamu.

Aku berkhayal, dan kamu, kulirik dirimu,

Masih tersenyum…

***

Jam dinding menunjukkan pukul 23.30, aku masih berdoa semoga waktu berhenti. Tapi nyatanya, sang waktu mengkhianatiku. Kenapa setiap ada hal –hal yang menyenangkan hatiku sang waktu tak bisa bertenggang rasa sedikit saja. Aku kan masih ingin kamu disini!!

Kulirik kamu Mas, aku melihat sosok pria yang tenang sedang meminum segelas teh manis yang tadi baru saja kubuatkan. Semoga tak kemanisan atau malah kurang gula ya! Aku membuatnya dengan penuh cinta. Apa kamu bisa merasakannya, Mas?

Aku rasa teh itu manis, tapi tetap Mas, tak semanis senyum semangkamu itu. Aku perhatikan wajahmu yang dipenuhi rambut –rambut kasar disepanjang dagu. Tak ada yang istimewa, tapi kenapa aku cinta ya? Pertanyaan bodoh yang kulontarkan kepada diriku sendiri. Dan bodohnya lagi, tak bisa kujawab.

Aku melirik kepadamu, kamu masih meminum teh buatanku,

Masih tersenyum….

Kamu tiba –tiba berkata,

“Al, aku pulang ya…”

Senyumku hilang…

***

Sepilas gerimis turun. Aku tepekur sendiri. Jam dinding menunjukkan pukul 00.00. Setengah jam setelah kamu pergi, aku masih disini. Terduduk diam. Kenapa cintaku bisu sekali ya? Aku bingung. Tak bisakah aku seperti wanita –wanita lain? Cinta membuat mereka menjadi manusia emansipasi. Menyatakan perasaan lebih dulu daripada laki –laki.

Sayangnya aku tak bisa, Mas….

Pikiranku berkelana ke suatu waktu disaat aku mengenalmu.

“Al, kenalin temen gua nih, Raja”

Dan aku menjabat tangan besar itu. Kamu tersenyum. Dan saat itu juga aku mengenal senyum semangkamu.

Semenjak saat itu, kita bertemu hanya satu –satu. Satu minggu, satu bulan, atau malah satu kali selama 3 bulan. Bahkan pernah ada saat dimana aku sama sekali tak memikirkanmu. Tapi entah kenapa sekarang, bahkan tiap lafas doaku ada namamu, Mas.

Aku tak pernah tau kapan aku jatuh cinta. Aku hanya tau tiba –tiba aku punya hasrat untuk selalu tau keadaanmu. Kamu dimana? Sudah makan atau belum? Ahh, cintaku seperti cinta anak SMA saja, padahal umurku sudah lebih dari 20 tahun. Tak pantas rasanya seperti itu. Tapi sungguh! Cinta membuatku buta umur. Cinta hanya kenal satu kata, rindu, dan aku rindu sekali sama kamu ,Mas.

Apa kamu rindu aku??

Hening, tak ada jawaban.

Jelas!! Aku bertanya bukan padamu…

Hanya tembok kamar….

***

Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 02.00, dan aku masih terpaku. Tak bisa terlelap, masih setia menemaniku, tentu saja bayanganmu. Ahhh! Hanya bayangan! Aku ingin kamu seutuhnya, Mas Raja.

Aku melirik ke ponsel yang tergeletak di samping tempat tidurku. Ada hasrat untuk sekedar mengirim pesan singkat.

Mas, sedang apa?

Mas, aku ga bisa tidur, mikirin kamu..

Ah tidak –tidak, buru –buru kutepis pikiran itu. Tetapi semakin kutepis semakin aku sangat ingin melakukannya. Tak sadar jari –jari tanganku sudah lancar menekan –nekan tombol ponsel berlayar tak lebih dari 3X3 cm itu.

Menu

Message

Create Message

Mas, aku ga bisa tidur nih. Mas Raja sedang apa? Aku kangen sama Mas…

Sent to

Mas Raja

Dan,

Tanganku tergantung saat akan memencet tombol Sent. Aku ragu. Ini sama saja bunuh diri pikirku. Berbagai kelebatan pikiran negative memenuhi otakku. Perempuan macam apa yang mengirim sms jam 2 pagi kepada seorang laki-laki.

Aku hapus kalimat –kalimat yang tertera di layar ponselku itu.

Aku diam

Dan kamu,

Entah sedang apa..

***

Tik – tok –tik –tok –tik –tok

Hmmm…

Pukul berapa ini?

Yak! Kamu sukses membuat aku tak bisa memejamkan mata, Mas!!

Pukul 02.30, masih seputaran khayalan tentang kamu. Teringat tentang suatu waktu, masih suatu waktu tentang kamu, Mas.

Yah lagi –lagi kamu.

“Alya, aku kerumah yah… mampir aja..boleh?” kamu bertanya

“Boleh” jawabku asal

Belum mengerti bahwa kamu itu istimewa. Masih belum mengerti kamu itu beda. Jadi kujawab sekenanya saja. Toh, aku tak begitu peduli dengan kamu. Saat itu….

Sekarang…

Berbeda….

Sekarang aku menunggu kamu mengatakan kalimat itu lagi, Mas. Aku menunggu kedatanganmu, walaupun hanya sebentar, sebentar saja.

Sekarang malah aku yang sering sekali berkata,

“Mas, kapan mampir kerumah?”

Atau,

“Mas, main yuk kerumah..nanti aku buatin teh manis lagi”

Dan kamu, hanya tersenyum kecil. Senyum buah semangkamu yang kunantikan itu keluar juga. Manis dan dingin.

***

Aku melirik layar ponsel, angka –angka digital didalamnya menunjukkan sebuah barisan yang bentuknya seperti ini,

03.00

Yak, kalau kamu bertanya apa saja yang aku lakukan sedari tadi, jawabannya, mikirin kamu, Mas! Gombalnya aku ini ya..

Tapi biarlah, biar begitu..

Dan sekarang, keinginan untuk sekedar mengirimimu pesan singkat makin besar. Aku masih bersikukuh pada ke ego-an ku. Tidak – tidak.

Tapi tanganku berkhianat. Jari -jariku dengan ringan kembali mengambil ponsel mungilku. Perasaan dan logikaku masih bertarung seru.

Kirim

Tidak

Kirim

Tidak

Biarlah logika dan perasaanku itu bertarung seru. Tak tahu sampai berapa ronde. Yang jelas jari –jariku kembali bergeliat lincah menekan –nekan huruf yang tertera di sana.

Merangkai kata –kata hatiku.

Aku diam. Kutatap layar ponsel mungil itu.

Sent to

Mas Raja

Sent…

Message has been sent to Mas Raja

Aku kalah..

Aku kalah oleh perasaan rindu seorang wanita terhadap pria yang tak diketahui keadaannya sekarang. Pikiranku hanya bergejolak dan masih bertanya –tanya.

Mas Raja,

Kamu sedang apa?

Kamu terima pesan dari ponselku tidak?

Apa kamu sudah tidur?

Apa kamu bermimpi tentang aku, tentang wanita yang rindu dengan senyum semangkamu.

Dan aku terlelap… Dalam ketidak sadaranku, aku masih bisa mengucapkan sebuah harapan,

Semoga pesanku kamu balas Mas

***

Alya terlelap, lelah menerjang kesadarannya. Selama hamper 3 jam ia bertarung dengan ke –ego-annya sebagai wanita, akhirnya ia mengalah pada perasaan dan ruang rindunya.

Sent Item

To : Mas Raja

Message : Mas, ini Alya..Rindu sekali rasanya sama Mas..semoga Tuhan senantiasa memberkati hidup kamu Mas..


Alya masih terlelap saat ponselnya berkedip –kedip. Nama Raja tertera disana

1 unread message

From Mas Raja

***

Dedicated for Woman...

Pada akhirnya cinta memang harus diungkapkan...


Jakarta, Middle August 2011

Thursday 4 August 2011

HIKAYAT BAPAK DIKALA SUBUH


Subuh itu adzan telah berkumandang ke tiap –tiap sudut bumi. Suaranya terbawa angin ke 8 penjuru mata arah. Timur, tenggara, selatan, barat daya, hingga timur laut. Semua sesak oleh panggilan Tuhan yang merdu itu.

Matahari belum merekah saat ajakan ibadah dari bilal berkumandang. Suaranya lumayan kencang memasuki sendi –sendi kamarku. Tapi anehnya aku sama sekali tak tersentuh. Kalbuku seolah tertutup selimut tebal yang membuatku malas bergegas bangun walaupun telingaku merasakan tiap –tiap helaan kata dari sang Bilal. Panggilan Tuhan kala ayam berkokok itu biasanya kulewatkan begitu saja.

Hingga sebuah tangan kekar yang legam dan berotot liat menyentuh ragaku. Mengguncang –guncangkan bahu kecilku.

“Sitta..Bangun Nak, waktunya Subuh”

Biasanya aku tak akan langsung terbangun. Tubuhku bergeliat -geliat kecil dengan mata masih terpejam. Mengantuk sangat. Tapi tangan legam itu tetap bertahan, tetap mengguncang –guncang pundak rapuhku.

“Sitta, Ayo Bangun. Malu sama ayam, masa keduluan ayam bangunnya”

Biasanya setelah kalimat itu, aku mengintipkan bola mataku. Benda bulat berwarna cokelat itu berputar –putar mencari serangkaian kisah dan kesan dari perjalananku di alam mimpi dan terbangun di sebuah kenyataan. Dan kenyataan itu berdiri dihadapanku sekarang. Tangan legam itu akhirnya menang. Aku terbangun, tertatih mengantuk menuju ke kamar mandi. Membasuh tiap jengkal tubuhku. Wajah, tangan, kaki, mata, kening, sampai hidungpun kubasuh.

Setelah itu, aku dan pemilik tangan legam itu biasanya akan menunaikan subuh berjamaah. Bapak, biasa aku memanggil pemilik tangan legam itu, akan menjadi imamku dan biasanya selesai subuh aku akan sedikit protes karena setelah Al-Fatehah Bapak akan membaca surat pendek yang sama sekali aku tak pernah setuju kalau itu surat pendek. Pernah suatu masa selesai subuh, untuk menunjukkan aksi protesku, aku berkata ,

“ Besok sekalian baca surat Yaasin aja ya, Pak” ucapku, maksud hati agar Bapak mengerti bahwa bacaan –bacaan suratnya mampu membuat otot persendianku kaku karena berdiri terlalu lama.

Bapak hanya tersenyum menjawab perkataanku, selalu seperti itu, hanya senyuman atau anggukan, atau bahasa tubuh lainnya.

Dan esoknya, aku menemukan Bapak benar –benar membaca surat Yaasin saat subuh.

***

Dan biasanya setelah subuh lewat. Bapak selalu memintaku membuatkan kopi hitam di dalam gelas belimbing kepunyaannya. Gulanya hanya satu sendok teh, tak lebih tak kurang. Bapak tak terlalu suka manis. Itupun jikalau aku sedang rajin dan setelah subuh tak tidur lagi.

Sambil menikmati kopi buatanku, bapak biasanya akan bercerita tentang subuh, suatu waktu yang sangat disukainya. Bercerita tentang hikayat subuh, tentang anak –anak yang tidak bangun walau adzan berkumandang karena setan mengencingi telinga mereka sehingga adzan subuh yang merdu tak bisa terdengar oleh mereka, atau tentang orang –orang yang meringkuk di hangatnya tempat tidur, tak hirau dengan panggilan Tuhan karena setan telah menyelimutinya dengan kulit kambing hitam tebal yang gaib. Biasanya setelah mendengar cerita seperti itu, esoknya aku akan cepat –cepat bangun menunaikan subuh, takut akan cerita Bapak.

Bapak senang sekali bercerita tentang hikayat –hikayat dikala subuh dan pagi terbit. Dan biasanya saat ia bercerita tentang hikayat –hikayat luar biasa yang tak pernah aku tahu darimana ia dapatkan cerita –cerita macam begitu, mataku berbinar –binar mendengarkan tiap kata yang Ia keluarkan. Bukan karena ceritanya tapi karena saat itu adalah saat paling berharga yang pernah kupunya bersama Bapak, karena kala subuh itu, ia mampu bersuara dan bercerita panjang lebar. Suatu hal luar biasa yang diberikan seorang seperti Bapak pada aku, anaknya.

Aku terbiasa dengan sikapnya yang teduh, tenang, dan pendiam. Tak pernah ia keluarkan kata yang berlebihan. Komunikasi kami kebanyakan hanya berjalan satu arah. Hanya aku yang banyak bicara. Jikalau aku sedang bercerita tentang nilai –nilaiku di sekolah, saat aku menunjukkan kertas ujian dengan nilai memuaskan dan sibuk bercerita bagaimana kerasnya aku belajar semalaman dan bahagia dapat nilai bagus, bapak hanya tersenyum, kemudian mengusap kepala mungilku dengan tangannya yang hitam legam berotot liat.

Dulu saat aku masih kecil sekali. Usai subuh, ia akan mengajakku keliling desa dengan sepeda tuanya. Kring –kring, bel sepedanya akan berbunyi tiap ia bertemu dengan orang lain yang dikenalnya di jalan. Biasanya dia akan mengajakku ke Pasar, pagi –pagi tiap selasa dan jumat. Karena pasar di desa kami hanya buka dua kali seminggu tiap selasa dan Jumat. Disana ia akan mengajakku berbelanja, melihat sayur mayur, memperkenalkan padaku nama –nama bumbu dapur, mengajariku cara membedakan sayuran dan buah yang segar dengan yang tidak, memberitahu cara membedakan jahe, lengkuas, dan kunyit, hingga mengajariku cara menawar. Hebat bukan bapakku!

Setelah puas berbelanja. Aku pasti sibuk minta dibelikan es dawet atau jajanan pasar. Mulutku komat kamit dengan tangan menunjuk ke segala arah makanan dan minuman warna –warni yang begitu menarik di mataku. Dan bapak hanya akan tersenyum dan mengusap kepala mungilku, tanpa pernah membelikan satupun permintaanku. Dan biasanya aku akan ngambek dengan mulut manyun pulang kerumah, masih dengan sepeda tua Bapak.

Sesampainya dirumah ia masukkan sepeda tuanya, dan bergegas menuju ke bawah pohon kelapa. Menengok sebentar ke arahku lalu memanjat dengan cekatan ke ujung dahan, mengambil buahnya yang ranum –ranum, hijau segar. Lalu menjatuhkannya kebawah. Bunyinya berdebam keras menghantam tanah. Aku hanya akan ternganga melihat Bapakku kembali turun ke tanah. Memungut satu –satu hasil petikannya dan meletakkannya di hadapanku, sambil berkata,

“Ini lebih enak dibandingkan minuman warna –warni yang kamu tunjuk di pasar tadi, Nak”

Ujarnya datar sambil tersenyum, tak lama ia akan masuk ke rumah dan keluar membawa sebilah golok, untuk mengupas kelapa. Ia lakukan itu hanya untukku.

Kadang –kadang saat aku melihat dengan seksama cara ia mengupas kelapa tadi, ia akan berhenti dan terdiam sambil berkata,

“Awas Sitta, jangan dekat –dekat”

“Kenapa? Sitta mau bantu bapak kok” jawabku

Bapak menggeleng, sambil sekali lagi melakukan hal yang sangat kusukai, mengelus kepala mungilku.

“ Wanita hanya melakukan tugas seorang wanita.. biarkan pria yang melakukan pekerjaan berat yang penuh tenaga” ucapnya padaku

Keningku akan berkernyit tanda tak mengerti,

“Kenapa?” aku bertanya

“Karena kami ditakdirkan untuk melindungi kalian, dan memaafkan segala kesalahan yang kalian punya, Nak”

Biasanya setelah Bapak berkata serius seperti itu aku akan ingat tentang Ibu.

***

Subuh berikutnya sama seperti subuh –subuh sebelumnya. Walaupun ragaku bertambah dan berkembang, tangan hitam legam itu tetap membangunkanku dari alam mimpi. Tetap memimpinku menuju haribaan Tuhan. Dan masih tetap pada cerita dan hikayat –hikayat islam seputar subuh yang indah. Subuh, suatu waktu dimana aku merasakan Bapak memang seorang laki –laki yang sangat baik. Hingga suatu saat aku bermimpi punya suami seperti dia.

Suatu hari di waktu subuh yang berbeda. Aku tiba –tiba bertanya tentang suatu hal yang sudah lama kupendam.

Aku bertanya tentang sosok wanita yang hilang dari peradaban kehidupanku.

“Pak, Sitta kangen Ibu”

Bapak lalu terdiam. Melihatku sambil mengelus kepalaku. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi ia sama sekali tak menjawab pertanyaanku. Tubuhnya malah pergi meninggalkanku seorang diri. Tak lagi bercerita tentang Hikayat –hikayat subuh.

Dan beberapa hari kedepan, aku tetap bertanya seputar wanita itu. Makin banyak pertanyaan tergantung di pikiranku.

“Pak, Ibu wanita seperti apa?”

atau

“Pak, apa wajah Ibu mirip dengan wajah Sitta?”

“Pak, apa masakan Ibu seenak buatan Bapak?”

Dan seperti subuh –subuh yang lalu, Bapak hanya akan menjawab pertanyaanku dengan tersenyum, lalu pergi tanpa menjawab apapun.

Hingga suatu hari, dikala subuh telah tertunaikan. Ia tiba –tiba menghentikan cerita –cerita tentang waktu subuhnya, dan memberikanku selembar foto usang yang berdebu.

“Ini satu –satunya foto Ibu yang tersisa, Nak. Ia tidak berkata apa –apa selain mengucapkan salam sebelum pergi meninggalkan kita”

“Meninggalkan? Memangnya Ibu kemana Pak?” tanyaku penasaran

“ia pergi dengan hati dan tujuan yang sudah berbeda. Meninggalkan kamu dan Bapak berdua saja. Mengejar mimpinya yang lain”

Kata –kata itu hanya tersirat bagiku. Aku tak begitu mengerti. Yang kutahu seiring berjalannya waktu, Ibu pergi meninggalkanku dan Bapak demi lelaki lain. Demi “mimpi” yang lain, bapak berkata.

Aku melihat sekilas foto Ibu yang sekarang aku simpan. Wanita sederhana yang cantik. Aku tak tahu pasti benar atau tidak, tapi Bapak selalu bilang mataku mirip dengannya. Mata yang menyimpan sejuta mimpi dan keinginan yang bebas. Aku merasa bingung dan marah. Aku merasa Bapak terkhianati. Aku muntab. Kubuang foto wanita dengan senyum simpul itu ke tempat sampah yang ada di dapur.

Keesokan harinya, saat subuh menjelang, Bapak menyodorkan foto yang sudah lecek yang ditemukannya di dapur itu ke hadapanku, sambil berkata,

“ Bagaimanapun juga dia orang yang pernah ada dalam kehidupanmu, Nak. Dalam Islam nama Ibu disebutkan 3 kali sebagai orang yang harus kau baktikan, barulah kepada Ayah baktimu kau kirimkan”

Aku berkata

“Tidakkah Bapak marah atas perbuatan Ibu?”

Bapak menggeleng

“Bapak pernah bilang sama kamu, Nak. Laki –laki ditakdirkan untuk melindungi kalian kaum wanita, dan memaafkan segala kesalahan yang kalian punya.”

Aku meneteskan air mataku diatas pangkuan lelaki yang sangat kucintai seumur hidupku itu.

***

Mungkin Bapak sekarang tak ada. Tak ada lagi laki –laki dengan tangan hitam legam yang membangunkanku di kala subuh. Tak lagi kudengar hikayat, dan cerita anak –anak yang keluar dari mulutnya. Bapak memang tiada lagi. Tapi aku tak pernah mampu menyingkirkannya sedikitpun dari sang idea-ku.

Ia kukenal lewat hikayat dan kisah –kisah tentang suatu waktu dimana langit masih gelap dan matahari belum bersinar. Subuh, suatu waktu dimana aku mengenal sesosok lelaki luar biasa yang dengan keikhlasannya berjuang menjadi ayah sekaligus ibuku dalam satu waktu.

***

Jakarta, Agustus 2011

Untuk Bapak nomor satu seluruh duniaku

Tuesday 2 August 2011

KEMANAPUN ANGIN BERHEMBUS


Bus antarkota jurusan Jakarta-Pangandaran melaju dijalanan pedesaan yang sepi. Pukul 17.00, matahari sore itu seperti enggan beranjak dari bumi pasundan. Cahayanya masih merekah menerangi tanah sekitar. Adi menatap pemandangan yang melaju-laju di tepi jendela. Matanya tertutup, seperti berusaha membawa semua keindahan alam bumi pertiwi ke dalam hatinya. Kenangan akan masa kecilnya berkelebat dikedalaman lamunannya, menciptakan suasana rindu yang sendu.

Dipersimpangan daerah bernama Kalipucang, bus berhenti di sebuah terminal kecil, sebelum menuju ke pemberhentian terakhirnya, yaitu terminal bus Pangandaran. Adi dan beberapa penumpang terlihat turun dari mobil patas AC tersebut. Pengojek dan tukang becak yang mangkal, mencoba mengais rejeki sore itu. Menawari jasa tumpangan pada orang-orang yang baru saja menginjakkan kaki di desa ini.

Adi memandang sekitar. Ingatannya berkelana kewaktu dimana ia pertama kalinya memutuskan untuk menimba ilmu ke Jakarta, terminal inilah saksi sejarah dimana orangtuanya mengantar kepergiannya untuk menuntut ilmu. Hah, indah sekali membayangkankan bahwa ia sebentar lagi akan kembali mencium kedua tangan orangtua yang sudah lama tak ditemuinya. Karena selama ia menuntut ilmu di ibukota, ia hanya sempat berkirim kabar lewat surat. Sebuah tradisi yang sekarang mulai ditinggalkan orang banyak karena keberadaannya tergeser oleh teknologi.

Perjalanannya belum selesai, ia harus naik angkutan umum, kemudian dilanjutkan dengan ojek atau berjalan kaki jika ia tidak terlalu letih. 15 menit menunggu, kendaraan yang ditumpanginya muncul. Ia bergegas menaikinya, rindu batin mendesaknya agar segera tiba di kediaman orangtuanya. 30 menit berkendara memasuki pedesaan-pedesaan, ia tiba di tempat tujuan, namun ia masih harus berjalan atau menyewa ojek untuk sampai di rumah orangtuanya. Dan letih karena perjalanan jauhnya, Adi memilih jasa ojek. Ia berjalan ke pangkalan, sampai salah seorang lelaki yang berada di atas motor berkata.

“Kang Adi, Ieu teh, Kang Adi? (Ini Kang Adi?)

Adi terperanjat. Memicingkan mata pada orang yang memanggilnya, berusaha menerka wajahnya yang asing namun familiar.

“Aji? Masya Allah..” Adi langsung memeluk sahabat masa kecilnya itu.

“Pulang, Kang?” tanya Aji setelah mereka melepas pelukannya. Adi mengangguk. Mereka berbincang sebentar. Sampai Adi berkata

“Hanterkeun abdi ka bumi nya!” (Antarkan saya ke rumah ya!)

Aji mengangguk, tanda mengerti akan kerinduan Adi terhadap orangtua yang sempat ditinggalkannya. 5 menit berkendara, Adi tiba di depan rumah sederhana yang sangat diingatnya. Halamannya luas dengan pohon kelapa yang menjulang dibanyak sisinya. Adi ingat bagaimana dulu Bapak mengajarinya memanjat pohon kelapa untuk menaruh wadah, menyaring nira kelapa. Dan tiap sore, Adi akan kembali memanjat untuk mengambil wadah yang sudah terisi penuh. kemudian membantu ibunya memproses nira menjadi gula merah yang keesokan hari akan dijualnya ke pasar. Gula merah yang mereka buat akan habis terjual sebelum pasar bubar dan ibu akan menghadiahinya es dawet Kang Krisna yang terkenal seantero desa akan kesegarannya. Ahh, kenangan itu begitu melekat di kepalanya, lebih dari hal apapun di dunia ini.

Adi melangkah memasuki pelataran. Di beranda rumah sederhana itu, terlihat sosok wanita yang sangat dirindukannya, sosok itu sedang menyapu beranda dengan tenangnya. Tak disadarinya, wanita itu juga telah menyapu seluruh kerinduan Adi sore itu. Disampingnya lelaki tua yang penuh keriput, sedang melinting rokok tembakau sambil duduk dikursi kayu yang rapuh.

Adi berjalan perlahan sampai mata mereka beradu pandang. Ada rasa kaget bercampur haru dari tiap-tiap tatapannya. Batinnya meronta, tak tahan lagi dengan kerinduannya yang membuncah, Adi berhambur kepelukan orangtuanya. Dicium tangan kedua orangtuanya yang hitam legam, tangan seorang pekerja keras yang telah membesarkannya selama ini. Tak disadari tangisnya pecah di pelukan ibunya, tangis rindu seorang anak.

***

Seminggu sudah Adi kembali ke tanah kelahirannya. Desa itu bernama Patimuan, sebuah desa kecil yang permai layaknya sebuah lagu. Lokasinya yang tepat berada di garis perbatasan antara jawa barat dan jawa tengah membuat bahasa ibu disini bermacam-macam. Namun bahasa sunda adalah bahasa yang dominan.

Adi telah menghabiskan seminggu ini untuk melepas kerinduannya kepada orangtua. Ia kembali menekuni tugas-tugas masa lalunya. Menimba air, menyaring nira, membuat gula merah, mengupas kulit kelapa, dan menemani Bapak ke sawah. Semua dilakukan semata-mata karena cintanya pada orang yang mendidiknya sangat besar, namun ada sesuatu mengganjal hatinya. Sesuatu yang sesungguhnya menjadi tujuannya pulang. Dan ia bertekad membahas hal ini dengan kedua orangtuanya secepatnya.

Disuatu sore yang sejuk, Adi dan Bapak yang baru saja pulang dari ladang, disuguhi secangkir teh hangat oleh ibu. Selepas adzan ashar mereka bergegas membasuh seluruh tubuhnya dengan air wudhu dan menunaikan kewajiban mereka.

“Pak, ada yang Adi mau bicarakan sama ibu dan bapak” ucapnya disela-sela kesibukannya membantu ibu menjaring air di ketel untuk menyeduh kopi bapak.

“Mau bicara apa,Di?sepertinya serius sekali?” Ibu bertanya pada anak lelaki satu-satunya itu.

Adi menaruh ketel berisi air di atas tungku batu. Melihat kearah ibu yang sibuk menjaga nyala api, dan kepada Bapak yang terduduk di lantai dapur yang kusam termakan usia.

Adi duduk disamping sang ayah, menggenggam tangannya kemudian bersuara.

“Pak, terima kasih selama ini sudah membesarkan Adi sebagai pribadi yang kuat dan pekerja keras. Dan terima kasih untuk ibu karena sudah rela membiarkan Adi merantau ke Jakarta untuk mengejar cita-cita” adi berhenti sejenak, sekedar untuk melihat senyum di kedua wajah orang tuanya terkembang.

“Seperti yang Bapak sama Ibu tau, kalau Adi ga pergi ke Jakarta, Adi ga mungkin dapet beasiswa untuk kuliah jurusan kedokteran. Dan kalau bukan karena restu dan doa dari kalian berdua, Adi ga mungkin lulus dan jadi seperti sekarang. Terimakasih dari Adi untuk kalian berdua.”

Senyum ibu merekah lebih lebar dari biasanya.

“Ibu dan bapak juga minta maaf sama kamu ya, karena ga bisa datang waktu kamu wisuda” ucap ibu. Membuat Adi menghambur kepelukannya.

“Bu,Pak.. Adi sekarang sudah punya izin praktek, dan ada panggilan dari rumah sakit besar di Jakarta untuk Adi kerja disana?” ucap Adi

Segera setelah ucapan itu selesai dilontarkan, wajah sendu terpancar dari kedua orang tuanya.

“Jadi kamu ga akan tinggal disini seterusnya? Bukannya kamu dulu pernah bilang begitu kamu selesai kuliah, kamu akan kembali ke kampung halaman kamu ini dan menemani Bapak dan Ibu?” ujar Bapak.

Adi merundukkan kepalanya. Helaan nafas bukan membuat dadanya lega malah justru terasa menghimpit.

“Justru itu,Pak. Adi bermaksud mengajak Bapak dan Ibu untuk tinggal sama Adi di Jakarta. Adi ga mau berpisah lagi sama Bapak dan Ibu dalam waktu yang lama. Ikut Adi ya, Pak, Bu?” Tanya Adi mengundang kesunyian yang tiba-tiba diantara keluarga kecil itu.

“Tapi kamu tahu sendiri kalau hidup mati Bapak, ya disini. Didesa ini. Kamu tahu kalau Bapak ga akan pernah mau pergi dari sini, apalagi Jakarta” ucap Bapak tiba-tiba

“ Tapi, Pak. Ini kesempatan Adi untuk memulai karir. Rumah sakit yang memanggil Adi itu, rumah sakit besar, banyak dokter yang berlomba-lomba untuk bekerja disana. Adi akan dapat gaji besar, Pak” Adi mencoba berargumen.

“Jadi Jakarta sudah membuat kamu mengenal materi, Nak! Kalau materi yang jadi masalah ibu dan bapakmu ini, sudah sejak dulu Bapak merantau ke Jakarta seperti orang-orang lain didesa ini. Menyingkirkan harga diri kejalanan, mengemis, meminta-minta dari hak orang lain, karena nyatanya dengan begitupun mereka bisa pulang kesini dengan uang banyak.” Bapak muntab. Nafasnya tersengal menahan emosi.

“Tapi, maaf, Nak. Bapak ini bukan orang seperti itu.” Lanjutnya.

Bunyi gemeretak kayu bakar di tungku memecah kesenyapan yang mendesak batin tiap-tiap orang diruangan itu. Tak berapa lama, Bapak meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa. Adi memandang ayahnya tak percaya. Dia sudah akan menyusulnya sampai tangan kecil ibu menahannya.

“Sabar, Nak. Itu tanda Bapak sedang berfikir. Dia Cuma tidak mau jauh dari kamu untuk kedua kalinya.”

Adi menatap mata sendu ibu. Ibu benar batinnya 7 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menunggu.

***

2 hari sudah, diam menjadi pillihan Bapak. Adi hanya punya waktu tak lebih dari sebulan lagi sebelum ia kembali ke Jakarta untuk menjawab panggilan kerjanya. Dan dalam waktu itu ia harus terus membujuk Bapak dan Ibu untuk ikut dengannya ke sana.

Pagi itu seperti biasanya, ia tetap membantu kedua orangtuanya. Menimba air, membelah kelapa, dan berbagai pekerjaan kasar lain. Ada satu hal yang lain hari itu, ia tak pergi ikut Bapak ke sawah dan ladang. Ia segan pada Bapak. Akhirnya ia lebih memilih membantu Ibu di dapur, menyiapkan makan siang untuk mereka dan Bapak yang ada di ladang.

Ibu sedang memotong sayuran hijau, saat tiba-tiba Adi berkata

“Bu, Adi mau tanya sesuatu sama Ibu” ucapnya sambil menyingkirkan batu-batu kerikil yang tersembunyi diantara beras yang sedang disianginya.

Ibu menoleh halus sambil menyunggingkan senyum, senyum kelembutan yang sama seperti dulu. Senyum yang mampu membuat Adi berhenti menangis saat jatuh dari sepedanya, senyum yang mampu membuatnya kembali berdiri saat terjatuh dalam menghadapi masalah-masalah hidupnya.

“Tanya apa,Nak?”

“Selama Adi pergi, apa Bapak kangen sama Adi, apa Bapak bangga punya anak seperti Adi?” tanyanya.

Ibu berhenti dari pekerjaannya. Menatap dalam-dalam ke mata anak tunggalnya, sambil mengusap kening sang anak.

“Nak, tidak ada yang lebih membanggakan Bapak, selain melihat kamu menjadi orang yang berhasil. Bapak adalah orang yang selalu menceritakan tentang kamu kepada semua orang, kepada teman-teman berladangnya, kepada penjual daging dipasar, bahkan pada tukang becak yang ditumpanginya. Namamu selalu menggaung dari bibirnya, Nak. Betapa kamu harus tahu, bagaimana ia bangga sekali sama kamu.”

Adi terdiam, mata sendu ibunya menceritakan begitu banyak hal tentang Bapak tanpa ia harus berkata-kata. Adi menghela nafasnya, menyesali perkataannya pada Bapak 2 hari lalu. Betapa bodohnya ia membiarkan orangtua yang membesarkannya dengan baik, yang selalu membalut tubuh lemahnya dengan doa-doa, menunggu kepulangannya begitu lama. Dan setelah pulang, ia malah melukai harapan Bapak dan Ibu. Batinnya merintih, mengirimkan sinyal pada konjungtivanya untuk meneteskan airmata penyesalan. Siang itu ia lalui dengan menangis. Menyesali perbuatannya di pangkuan Ibu.

Selepas magrib, betapa terkejutnya saat Adi mendapati Bapak didepan pintu kamarnya.

“Di, temani Bapak merokok di beranda.” Ucapnya.

Dan disinilah Adi sekarang. Diberanda rumahnya. Angin malam pedesaan membawa wangi pegunungan ke dalam penciumannya, sejuk dan segar.

“Di, maafkan Bapak, kalau perkataan Bapak kemarin membuat kamu sakit hati” Bapak berkata memecah kekakuan.

“Ga,Pak. Adi yang minta maaf, karena memaksa Bapak menuruti keinginan Adi” jawab Adi

Bapak tertawa getir. Ada yang aneh dalam tawanya. Ia menoleh kearah adi sambil memegang pundak anaknya itu.

“Kejar cita-cita kamu,Nak. Kalau kamu memang ingin pekerjaan itu, ambil. Biarkan bapak dan ibu mendoakan kamu dari sini.” Ucap Bapak.

***

Adi menoleh sekali lagi kebelakang. Kedua orangtuanya tersenyum, sambil melambaikan tangan. Entah kenapa mereka terlihat begitu tegar dibanding aku sekarang batin Adi. Tubuhnya tak bergerak dari tempat dimana ia berdiri sekarang. Tak disangka olehnnya, bahwa terminal bus Kalipucang ini, akan kembali jadi saksi perpisahannya dengan kedua orangtuanya. Adi janji akan sering menengok Bapak dan Ibu Adi membatin lagi. Segera setelah itu ia melangkah pasti menuju bus antarkota yang akan membawanya melintasi mimpi-mimpinya di ibukota.

***

“Kejar cita-cita kamu,Nak. Kalau kamu memang ingin pekerjaan itu, ambil. Biarkan bapak dan ibu mendoakan kamu dari sini.” Ucap Bapak.

“Tapi,..”

“Nak, Bapak rela. Asalkan apa yang kamu cita-citakan tercapai. Bapak cuma ingin melihat kamu bahagia.”

Adi tertegun mendengar perkataan Bapak.

“Maaf kalau Bapak atau Ibu ga bisa menemani kamu disana. Bapak punya tanggung jawab disini. Asalkan bapak tahu kamu disana sukses, itu sudah cukup buat bapak,Di. Cuma satu pesan Bapak, jangan lupa ibadah dan jangan lupa sering-sering menengok Ibu dan Bapakmu yang sudah tua ini”

Lamunan tentang obrolannya dengan Bapak 5 bulan lalu terhenti saat seseorang masuk melalui pintu kecil di depan mejanya. Orang itu tersenyum ramah sambil bergumam tak jelas, namun Adi masih dapat mendengar bahwa orang itu menyapanya.

“Sore,Dok”

Adi membalas senyuman itu. Terdengar helaan nafas darinya, bersiap untuk menghadapi pasien berikutnya. Pekerjaan telah ia dapatkan, materi telah tersedia untuknya, namun hatinya masih terganjal. Bayangan orangtuanya masih berkelebat dalam alam pikirannya. Buat apa aku bekerja keras seperti ini kalau bukan untuk orangtuaku batinnya, sambil memeriksa denyut jantung pasien yang kini terbaring di tempat tidur dihadapannya. Pikirannya tiba-tiba teringat perkataan teman lamanya.

“Lo abis lulus langsung nikah, Man?” tanya Adi di suatu siang di kampusnya.

“Iya, orangtua gw, udah pengen gw cepet-cepet nikah” jawab Warman teman kuliahnya.

“Ga terlalu buru-buru?”

“Ga. Mumpung orangtua masih ada,Di. Apa aja bakal gw turutin buat ngebahagiain mereka”

Adi terkejut, saat lamunannya buyar. Pikirannya kembali menginjak bumi. Kalimat terakhir dari perbincangan itu terus terngiang di telinganya. Bahkan saat menulis resep obat pasiennya itu. Setelah pasien terakhirnya itu keluar, Adi memandang kosong ke depan, helaan nafas terus-menurus terdengar darinya. Tak sadar tangannya telah menyambar kertas polos dan bolpoint hitam.

***

Jakarta, 2009

Kepada Bapak dan Ibu yang Adi cintai. Pak, Adi sekarang sudah mendapatkan pekerjaan yang baik, berkat doa Bapak dan juga Ibu. Adi ingin sekali berterimakasih sama Bapak dan Ibu karena sekali lagi, merestui Adi pergi ke Jakarta untuk mengejar cita-cita.

Pak,Bu. Jangan kira Adi disini ga pernah mikirin Ibu dan Bapak. Adi sangat cemas sama Ibu dan Bapak, Adi baru sadar Rindu Adi kepada Bapak dan Ibu sudah ga bisa Adi bendung lagi. Kalianlah alasan Adi selama ini mengejar cita-cita sampai Jakarta. Dan saat ini, Adi seperti ga menemukan alasan itu lagi. Karena ternyata Adi terlalu berfikir tentang materi. Adi jadi sangat takut karena ga bisa memberikan apa yang Bapak dan Ibu minta, dan melupakan bahwa kebahagiaan sejati Bapak dan Ibu bukan diukur dari materi apa yang Adi bisa berikan. Tapi kebahagiaan Adilah kebahagiaan sejati buat kalian, begitupun sebaliknya.

Maka dari itu Pak, Bu. Adi bawa kabar gembira buat Ibu dan Bapak. Pihak rumahsakit tempat Adi bekerja menyetujui proposal Adi untuk mendirikan Puskesmas di wilayah desa Bapak, dan Ibu, karena akses kesehatan disana tidak cukup memadai dan terlalu jauh. Dan Adi akan bekerja sebagai dokter kepala di puskesmas itu. Pak, Bu. Adi akan pulang. Adi akan terus-menerus bersama Bapak dan Ibu. Adi rindu sekali sama Bapak dan Ibu, dan Adi baru sadar, Meski Adi terbang jauh melintasi sang waktu, atau kemanapun angin berhembus menuntun langkah Adi, Adi akan kembali pada Bapak dan Ibu, orangtua yang Adi cintai.

Anakmu,

Adi

Ibu melepas kacamata bacanya, setelah selesai membacakan surat Adi untuk Bapak. Senyum terkembang di wajah Bapak yang basah karena air mata. Bukan hanya karena surat yang dikirimkan oleh anak tunggalnya itu, tetapi karena sosok yang terlihat berdiri di depan pintu kayu rumah tuanya.

“Adi pulang, Pak. Adi pulang buat Bapak dan Ibu” Ucap Adi, masih berdiri di depan pintu memandangi kedua orangtuanya yang tersenyum bahagia.

***

Jakarta, Juni 2009

Brainstrom from Padi’s song. Kemanapun Angin Berhembus-in Album: Sesuatu yang tertunda