Thursday 4 August 2011

HIKAYAT BAPAK DIKALA SUBUH


Subuh itu adzan telah berkumandang ke tiap –tiap sudut bumi. Suaranya terbawa angin ke 8 penjuru mata arah. Timur, tenggara, selatan, barat daya, hingga timur laut. Semua sesak oleh panggilan Tuhan yang merdu itu.

Matahari belum merekah saat ajakan ibadah dari bilal berkumandang. Suaranya lumayan kencang memasuki sendi –sendi kamarku. Tapi anehnya aku sama sekali tak tersentuh. Kalbuku seolah tertutup selimut tebal yang membuatku malas bergegas bangun walaupun telingaku merasakan tiap –tiap helaan kata dari sang Bilal. Panggilan Tuhan kala ayam berkokok itu biasanya kulewatkan begitu saja.

Hingga sebuah tangan kekar yang legam dan berotot liat menyentuh ragaku. Mengguncang –guncangkan bahu kecilku.

“Sitta..Bangun Nak, waktunya Subuh”

Biasanya aku tak akan langsung terbangun. Tubuhku bergeliat -geliat kecil dengan mata masih terpejam. Mengantuk sangat. Tapi tangan legam itu tetap bertahan, tetap mengguncang –guncang pundak rapuhku.

“Sitta, Ayo Bangun. Malu sama ayam, masa keduluan ayam bangunnya”

Biasanya setelah kalimat itu, aku mengintipkan bola mataku. Benda bulat berwarna cokelat itu berputar –putar mencari serangkaian kisah dan kesan dari perjalananku di alam mimpi dan terbangun di sebuah kenyataan. Dan kenyataan itu berdiri dihadapanku sekarang. Tangan legam itu akhirnya menang. Aku terbangun, tertatih mengantuk menuju ke kamar mandi. Membasuh tiap jengkal tubuhku. Wajah, tangan, kaki, mata, kening, sampai hidungpun kubasuh.

Setelah itu, aku dan pemilik tangan legam itu biasanya akan menunaikan subuh berjamaah. Bapak, biasa aku memanggil pemilik tangan legam itu, akan menjadi imamku dan biasanya selesai subuh aku akan sedikit protes karena setelah Al-Fatehah Bapak akan membaca surat pendek yang sama sekali aku tak pernah setuju kalau itu surat pendek. Pernah suatu masa selesai subuh, untuk menunjukkan aksi protesku, aku berkata ,

“ Besok sekalian baca surat Yaasin aja ya, Pak” ucapku, maksud hati agar Bapak mengerti bahwa bacaan –bacaan suratnya mampu membuat otot persendianku kaku karena berdiri terlalu lama.

Bapak hanya tersenyum menjawab perkataanku, selalu seperti itu, hanya senyuman atau anggukan, atau bahasa tubuh lainnya.

Dan esoknya, aku menemukan Bapak benar –benar membaca surat Yaasin saat subuh.

***

Dan biasanya setelah subuh lewat. Bapak selalu memintaku membuatkan kopi hitam di dalam gelas belimbing kepunyaannya. Gulanya hanya satu sendok teh, tak lebih tak kurang. Bapak tak terlalu suka manis. Itupun jikalau aku sedang rajin dan setelah subuh tak tidur lagi.

Sambil menikmati kopi buatanku, bapak biasanya akan bercerita tentang subuh, suatu waktu yang sangat disukainya. Bercerita tentang hikayat subuh, tentang anak –anak yang tidak bangun walau adzan berkumandang karena setan mengencingi telinga mereka sehingga adzan subuh yang merdu tak bisa terdengar oleh mereka, atau tentang orang –orang yang meringkuk di hangatnya tempat tidur, tak hirau dengan panggilan Tuhan karena setan telah menyelimutinya dengan kulit kambing hitam tebal yang gaib. Biasanya setelah mendengar cerita seperti itu, esoknya aku akan cepat –cepat bangun menunaikan subuh, takut akan cerita Bapak.

Bapak senang sekali bercerita tentang hikayat –hikayat dikala subuh dan pagi terbit. Dan biasanya saat ia bercerita tentang hikayat –hikayat luar biasa yang tak pernah aku tahu darimana ia dapatkan cerita –cerita macam begitu, mataku berbinar –binar mendengarkan tiap kata yang Ia keluarkan. Bukan karena ceritanya tapi karena saat itu adalah saat paling berharga yang pernah kupunya bersama Bapak, karena kala subuh itu, ia mampu bersuara dan bercerita panjang lebar. Suatu hal luar biasa yang diberikan seorang seperti Bapak pada aku, anaknya.

Aku terbiasa dengan sikapnya yang teduh, tenang, dan pendiam. Tak pernah ia keluarkan kata yang berlebihan. Komunikasi kami kebanyakan hanya berjalan satu arah. Hanya aku yang banyak bicara. Jikalau aku sedang bercerita tentang nilai –nilaiku di sekolah, saat aku menunjukkan kertas ujian dengan nilai memuaskan dan sibuk bercerita bagaimana kerasnya aku belajar semalaman dan bahagia dapat nilai bagus, bapak hanya tersenyum, kemudian mengusap kepala mungilku dengan tangannya yang hitam legam berotot liat.

Dulu saat aku masih kecil sekali. Usai subuh, ia akan mengajakku keliling desa dengan sepeda tuanya. Kring –kring, bel sepedanya akan berbunyi tiap ia bertemu dengan orang lain yang dikenalnya di jalan. Biasanya dia akan mengajakku ke Pasar, pagi –pagi tiap selasa dan jumat. Karena pasar di desa kami hanya buka dua kali seminggu tiap selasa dan Jumat. Disana ia akan mengajakku berbelanja, melihat sayur mayur, memperkenalkan padaku nama –nama bumbu dapur, mengajariku cara membedakan sayuran dan buah yang segar dengan yang tidak, memberitahu cara membedakan jahe, lengkuas, dan kunyit, hingga mengajariku cara menawar. Hebat bukan bapakku!

Setelah puas berbelanja. Aku pasti sibuk minta dibelikan es dawet atau jajanan pasar. Mulutku komat kamit dengan tangan menunjuk ke segala arah makanan dan minuman warna –warni yang begitu menarik di mataku. Dan bapak hanya akan tersenyum dan mengusap kepala mungilku, tanpa pernah membelikan satupun permintaanku. Dan biasanya aku akan ngambek dengan mulut manyun pulang kerumah, masih dengan sepeda tua Bapak.

Sesampainya dirumah ia masukkan sepeda tuanya, dan bergegas menuju ke bawah pohon kelapa. Menengok sebentar ke arahku lalu memanjat dengan cekatan ke ujung dahan, mengambil buahnya yang ranum –ranum, hijau segar. Lalu menjatuhkannya kebawah. Bunyinya berdebam keras menghantam tanah. Aku hanya akan ternganga melihat Bapakku kembali turun ke tanah. Memungut satu –satu hasil petikannya dan meletakkannya di hadapanku, sambil berkata,

“Ini lebih enak dibandingkan minuman warna –warni yang kamu tunjuk di pasar tadi, Nak”

Ujarnya datar sambil tersenyum, tak lama ia akan masuk ke rumah dan keluar membawa sebilah golok, untuk mengupas kelapa. Ia lakukan itu hanya untukku.

Kadang –kadang saat aku melihat dengan seksama cara ia mengupas kelapa tadi, ia akan berhenti dan terdiam sambil berkata,

“Awas Sitta, jangan dekat –dekat”

“Kenapa? Sitta mau bantu bapak kok” jawabku

Bapak menggeleng, sambil sekali lagi melakukan hal yang sangat kusukai, mengelus kepala mungilku.

“ Wanita hanya melakukan tugas seorang wanita.. biarkan pria yang melakukan pekerjaan berat yang penuh tenaga” ucapnya padaku

Keningku akan berkernyit tanda tak mengerti,

“Kenapa?” aku bertanya

“Karena kami ditakdirkan untuk melindungi kalian, dan memaafkan segala kesalahan yang kalian punya, Nak”

Biasanya setelah Bapak berkata serius seperti itu aku akan ingat tentang Ibu.

***

Subuh berikutnya sama seperti subuh –subuh sebelumnya. Walaupun ragaku bertambah dan berkembang, tangan hitam legam itu tetap membangunkanku dari alam mimpi. Tetap memimpinku menuju haribaan Tuhan. Dan masih tetap pada cerita dan hikayat –hikayat islam seputar subuh yang indah. Subuh, suatu waktu dimana aku merasakan Bapak memang seorang laki –laki yang sangat baik. Hingga suatu saat aku bermimpi punya suami seperti dia.

Suatu hari di waktu subuh yang berbeda. Aku tiba –tiba bertanya tentang suatu hal yang sudah lama kupendam.

Aku bertanya tentang sosok wanita yang hilang dari peradaban kehidupanku.

“Pak, Sitta kangen Ibu”

Bapak lalu terdiam. Melihatku sambil mengelus kepalaku. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi ia sama sekali tak menjawab pertanyaanku. Tubuhnya malah pergi meninggalkanku seorang diri. Tak lagi bercerita tentang Hikayat –hikayat subuh.

Dan beberapa hari kedepan, aku tetap bertanya seputar wanita itu. Makin banyak pertanyaan tergantung di pikiranku.

“Pak, Ibu wanita seperti apa?”

atau

“Pak, apa wajah Ibu mirip dengan wajah Sitta?”

“Pak, apa masakan Ibu seenak buatan Bapak?”

Dan seperti subuh –subuh yang lalu, Bapak hanya akan menjawab pertanyaanku dengan tersenyum, lalu pergi tanpa menjawab apapun.

Hingga suatu hari, dikala subuh telah tertunaikan. Ia tiba –tiba menghentikan cerita –cerita tentang waktu subuhnya, dan memberikanku selembar foto usang yang berdebu.

“Ini satu –satunya foto Ibu yang tersisa, Nak. Ia tidak berkata apa –apa selain mengucapkan salam sebelum pergi meninggalkan kita”

“Meninggalkan? Memangnya Ibu kemana Pak?” tanyaku penasaran

“ia pergi dengan hati dan tujuan yang sudah berbeda. Meninggalkan kamu dan Bapak berdua saja. Mengejar mimpinya yang lain”

Kata –kata itu hanya tersirat bagiku. Aku tak begitu mengerti. Yang kutahu seiring berjalannya waktu, Ibu pergi meninggalkanku dan Bapak demi lelaki lain. Demi “mimpi” yang lain, bapak berkata.

Aku melihat sekilas foto Ibu yang sekarang aku simpan. Wanita sederhana yang cantik. Aku tak tahu pasti benar atau tidak, tapi Bapak selalu bilang mataku mirip dengannya. Mata yang menyimpan sejuta mimpi dan keinginan yang bebas. Aku merasa bingung dan marah. Aku merasa Bapak terkhianati. Aku muntab. Kubuang foto wanita dengan senyum simpul itu ke tempat sampah yang ada di dapur.

Keesokan harinya, saat subuh menjelang, Bapak menyodorkan foto yang sudah lecek yang ditemukannya di dapur itu ke hadapanku, sambil berkata,

“ Bagaimanapun juga dia orang yang pernah ada dalam kehidupanmu, Nak. Dalam Islam nama Ibu disebutkan 3 kali sebagai orang yang harus kau baktikan, barulah kepada Ayah baktimu kau kirimkan”

Aku berkata

“Tidakkah Bapak marah atas perbuatan Ibu?”

Bapak menggeleng

“Bapak pernah bilang sama kamu, Nak. Laki –laki ditakdirkan untuk melindungi kalian kaum wanita, dan memaafkan segala kesalahan yang kalian punya.”

Aku meneteskan air mataku diatas pangkuan lelaki yang sangat kucintai seumur hidupku itu.

***

Mungkin Bapak sekarang tak ada. Tak ada lagi laki –laki dengan tangan hitam legam yang membangunkanku di kala subuh. Tak lagi kudengar hikayat, dan cerita anak –anak yang keluar dari mulutnya. Bapak memang tiada lagi. Tapi aku tak pernah mampu menyingkirkannya sedikitpun dari sang idea-ku.

Ia kukenal lewat hikayat dan kisah –kisah tentang suatu waktu dimana langit masih gelap dan matahari belum bersinar. Subuh, suatu waktu dimana aku mengenal sesosok lelaki luar biasa yang dengan keikhlasannya berjuang menjadi ayah sekaligus ibuku dalam satu waktu.

***

Jakarta, Agustus 2011

Untuk Bapak nomor satu seluruh duniaku

1 comment:

  1. bagus tulisannya.
    semangat ya shinta :D

    ReplyDelete