Tuesday 2 August 2011

KEMANAPUN ANGIN BERHEMBUS


Bus antarkota jurusan Jakarta-Pangandaran melaju dijalanan pedesaan yang sepi. Pukul 17.00, matahari sore itu seperti enggan beranjak dari bumi pasundan. Cahayanya masih merekah menerangi tanah sekitar. Adi menatap pemandangan yang melaju-laju di tepi jendela. Matanya tertutup, seperti berusaha membawa semua keindahan alam bumi pertiwi ke dalam hatinya. Kenangan akan masa kecilnya berkelebat dikedalaman lamunannya, menciptakan suasana rindu yang sendu.

Dipersimpangan daerah bernama Kalipucang, bus berhenti di sebuah terminal kecil, sebelum menuju ke pemberhentian terakhirnya, yaitu terminal bus Pangandaran. Adi dan beberapa penumpang terlihat turun dari mobil patas AC tersebut. Pengojek dan tukang becak yang mangkal, mencoba mengais rejeki sore itu. Menawari jasa tumpangan pada orang-orang yang baru saja menginjakkan kaki di desa ini.

Adi memandang sekitar. Ingatannya berkelana kewaktu dimana ia pertama kalinya memutuskan untuk menimba ilmu ke Jakarta, terminal inilah saksi sejarah dimana orangtuanya mengantar kepergiannya untuk menuntut ilmu. Hah, indah sekali membayangkankan bahwa ia sebentar lagi akan kembali mencium kedua tangan orangtua yang sudah lama tak ditemuinya. Karena selama ia menuntut ilmu di ibukota, ia hanya sempat berkirim kabar lewat surat. Sebuah tradisi yang sekarang mulai ditinggalkan orang banyak karena keberadaannya tergeser oleh teknologi.

Perjalanannya belum selesai, ia harus naik angkutan umum, kemudian dilanjutkan dengan ojek atau berjalan kaki jika ia tidak terlalu letih. 15 menit menunggu, kendaraan yang ditumpanginya muncul. Ia bergegas menaikinya, rindu batin mendesaknya agar segera tiba di kediaman orangtuanya. 30 menit berkendara memasuki pedesaan-pedesaan, ia tiba di tempat tujuan, namun ia masih harus berjalan atau menyewa ojek untuk sampai di rumah orangtuanya. Dan letih karena perjalanan jauhnya, Adi memilih jasa ojek. Ia berjalan ke pangkalan, sampai salah seorang lelaki yang berada di atas motor berkata.

“Kang Adi, Ieu teh, Kang Adi? (Ini Kang Adi?)

Adi terperanjat. Memicingkan mata pada orang yang memanggilnya, berusaha menerka wajahnya yang asing namun familiar.

“Aji? Masya Allah..” Adi langsung memeluk sahabat masa kecilnya itu.

“Pulang, Kang?” tanya Aji setelah mereka melepas pelukannya. Adi mengangguk. Mereka berbincang sebentar. Sampai Adi berkata

“Hanterkeun abdi ka bumi nya!” (Antarkan saya ke rumah ya!)

Aji mengangguk, tanda mengerti akan kerinduan Adi terhadap orangtua yang sempat ditinggalkannya. 5 menit berkendara, Adi tiba di depan rumah sederhana yang sangat diingatnya. Halamannya luas dengan pohon kelapa yang menjulang dibanyak sisinya. Adi ingat bagaimana dulu Bapak mengajarinya memanjat pohon kelapa untuk menaruh wadah, menyaring nira kelapa. Dan tiap sore, Adi akan kembali memanjat untuk mengambil wadah yang sudah terisi penuh. kemudian membantu ibunya memproses nira menjadi gula merah yang keesokan hari akan dijualnya ke pasar. Gula merah yang mereka buat akan habis terjual sebelum pasar bubar dan ibu akan menghadiahinya es dawet Kang Krisna yang terkenal seantero desa akan kesegarannya. Ahh, kenangan itu begitu melekat di kepalanya, lebih dari hal apapun di dunia ini.

Adi melangkah memasuki pelataran. Di beranda rumah sederhana itu, terlihat sosok wanita yang sangat dirindukannya, sosok itu sedang menyapu beranda dengan tenangnya. Tak disadarinya, wanita itu juga telah menyapu seluruh kerinduan Adi sore itu. Disampingnya lelaki tua yang penuh keriput, sedang melinting rokok tembakau sambil duduk dikursi kayu yang rapuh.

Adi berjalan perlahan sampai mata mereka beradu pandang. Ada rasa kaget bercampur haru dari tiap-tiap tatapannya. Batinnya meronta, tak tahan lagi dengan kerinduannya yang membuncah, Adi berhambur kepelukan orangtuanya. Dicium tangan kedua orangtuanya yang hitam legam, tangan seorang pekerja keras yang telah membesarkannya selama ini. Tak disadari tangisnya pecah di pelukan ibunya, tangis rindu seorang anak.

***

Seminggu sudah Adi kembali ke tanah kelahirannya. Desa itu bernama Patimuan, sebuah desa kecil yang permai layaknya sebuah lagu. Lokasinya yang tepat berada di garis perbatasan antara jawa barat dan jawa tengah membuat bahasa ibu disini bermacam-macam. Namun bahasa sunda adalah bahasa yang dominan.

Adi telah menghabiskan seminggu ini untuk melepas kerinduannya kepada orangtua. Ia kembali menekuni tugas-tugas masa lalunya. Menimba air, menyaring nira, membuat gula merah, mengupas kulit kelapa, dan menemani Bapak ke sawah. Semua dilakukan semata-mata karena cintanya pada orang yang mendidiknya sangat besar, namun ada sesuatu mengganjal hatinya. Sesuatu yang sesungguhnya menjadi tujuannya pulang. Dan ia bertekad membahas hal ini dengan kedua orangtuanya secepatnya.

Disuatu sore yang sejuk, Adi dan Bapak yang baru saja pulang dari ladang, disuguhi secangkir teh hangat oleh ibu. Selepas adzan ashar mereka bergegas membasuh seluruh tubuhnya dengan air wudhu dan menunaikan kewajiban mereka.

“Pak, ada yang Adi mau bicarakan sama ibu dan bapak” ucapnya disela-sela kesibukannya membantu ibu menjaring air di ketel untuk menyeduh kopi bapak.

“Mau bicara apa,Di?sepertinya serius sekali?” Ibu bertanya pada anak lelaki satu-satunya itu.

Adi menaruh ketel berisi air di atas tungku batu. Melihat kearah ibu yang sibuk menjaga nyala api, dan kepada Bapak yang terduduk di lantai dapur yang kusam termakan usia.

Adi duduk disamping sang ayah, menggenggam tangannya kemudian bersuara.

“Pak, terima kasih selama ini sudah membesarkan Adi sebagai pribadi yang kuat dan pekerja keras. Dan terima kasih untuk ibu karena sudah rela membiarkan Adi merantau ke Jakarta untuk mengejar cita-cita” adi berhenti sejenak, sekedar untuk melihat senyum di kedua wajah orang tuanya terkembang.

“Seperti yang Bapak sama Ibu tau, kalau Adi ga pergi ke Jakarta, Adi ga mungkin dapet beasiswa untuk kuliah jurusan kedokteran. Dan kalau bukan karena restu dan doa dari kalian berdua, Adi ga mungkin lulus dan jadi seperti sekarang. Terimakasih dari Adi untuk kalian berdua.”

Senyum ibu merekah lebih lebar dari biasanya.

“Ibu dan bapak juga minta maaf sama kamu ya, karena ga bisa datang waktu kamu wisuda” ucap ibu. Membuat Adi menghambur kepelukannya.

“Bu,Pak.. Adi sekarang sudah punya izin praktek, dan ada panggilan dari rumah sakit besar di Jakarta untuk Adi kerja disana?” ucap Adi

Segera setelah ucapan itu selesai dilontarkan, wajah sendu terpancar dari kedua orang tuanya.

“Jadi kamu ga akan tinggal disini seterusnya? Bukannya kamu dulu pernah bilang begitu kamu selesai kuliah, kamu akan kembali ke kampung halaman kamu ini dan menemani Bapak dan Ibu?” ujar Bapak.

Adi merundukkan kepalanya. Helaan nafas bukan membuat dadanya lega malah justru terasa menghimpit.

“Justru itu,Pak. Adi bermaksud mengajak Bapak dan Ibu untuk tinggal sama Adi di Jakarta. Adi ga mau berpisah lagi sama Bapak dan Ibu dalam waktu yang lama. Ikut Adi ya, Pak, Bu?” Tanya Adi mengundang kesunyian yang tiba-tiba diantara keluarga kecil itu.

“Tapi kamu tahu sendiri kalau hidup mati Bapak, ya disini. Didesa ini. Kamu tahu kalau Bapak ga akan pernah mau pergi dari sini, apalagi Jakarta” ucap Bapak tiba-tiba

“ Tapi, Pak. Ini kesempatan Adi untuk memulai karir. Rumah sakit yang memanggil Adi itu, rumah sakit besar, banyak dokter yang berlomba-lomba untuk bekerja disana. Adi akan dapat gaji besar, Pak” Adi mencoba berargumen.

“Jadi Jakarta sudah membuat kamu mengenal materi, Nak! Kalau materi yang jadi masalah ibu dan bapakmu ini, sudah sejak dulu Bapak merantau ke Jakarta seperti orang-orang lain didesa ini. Menyingkirkan harga diri kejalanan, mengemis, meminta-minta dari hak orang lain, karena nyatanya dengan begitupun mereka bisa pulang kesini dengan uang banyak.” Bapak muntab. Nafasnya tersengal menahan emosi.

“Tapi, maaf, Nak. Bapak ini bukan orang seperti itu.” Lanjutnya.

Bunyi gemeretak kayu bakar di tungku memecah kesenyapan yang mendesak batin tiap-tiap orang diruangan itu. Tak berapa lama, Bapak meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa. Adi memandang ayahnya tak percaya. Dia sudah akan menyusulnya sampai tangan kecil ibu menahannya.

“Sabar, Nak. Itu tanda Bapak sedang berfikir. Dia Cuma tidak mau jauh dari kamu untuk kedua kalinya.”

Adi menatap mata sendu ibu. Ibu benar batinnya 7 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menunggu.

***

2 hari sudah, diam menjadi pillihan Bapak. Adi hanya punya waktu tak lebih dari sebulan lagi sebelum ia kembali ke Jakarta untuk menjawab panggilan kerjanya. Dan dalam waktu itu ia harus terus membujuk Bapak dan Ibu untuk ikut dengannya ke sana.

Pagi itu seperti biasanya, ia tetap membantu kedua orangtuanya. Menimba air, membelah kelapa, dan berbagai pekerjaan kasar lain. Ada satu hal yang lain hari itu, ia tak pergi ikut Bapak ke sawah dan ladang. Ia segan pada Bapak. Akhirnya ia lebih memilih membantu Ibu di dapur, menyiapkan makan siang untuk mereka dan Bapak yang ada di ladang.

Ibu sedang memotong sayuran hijau, saat tiba-tiba Adi berkata

“Bu, Adi mau tanya sesuatu sama Ibu” ucapnya sambil menyingkirkan batu-batu kerikil yang tersembunyi diantara beras yang sedang disianginya.

Ibu menoleh halus sambil menyunggingkan senyum, senyum kelembutan yang sama seperti dulu. Senyum yang mampu membuat Adi berhenti menangis saat jatuh dari sepedanya, senyum yang mampu membuatnya kembali berdiri saat terjatuh dalam menghadapi masalah-masalah hidupnya.

“Tanya apa,Nak?”

“Selama Adi pergi, apa Bapak kangen sama Adi, apa Bapak bangga punya anak seperti Adi?” tanyanya.

Ibu berhenti dari pekerjaannya. Menatap dalam-dalam ke mata anak tunggalnya, sambil mengusap kening sang anak.

“Nak, tidak ada yang lebih membanggakan Bapak, selain melihat kamu menjadi orang yang berhasil. Bapak adalah orang yang selalu menceritakan tentang kamu kepada semua orang, kepada teman-teman berladangnya, kepada penjual daging dipasar, bahkan pada tukang becak yang ditumpanginya. Namamu selalu menggaung dari bibirnya, Nak. Betapa kamu harus tahu, bagaimana ia bangga sekali sama kamu.”

Adi terdiam, mata sendu ibunya menceritakan begitu banyak hal tentang Bapak tanpa ia harus berkata-kata. Adi menghela nafasnya, menyesali perkataannya pada Bapak 2 hari lalu. Betapa bodohnya ia membiarkan orangtua yang membesarkannya dengan baik, yang selalu membalut tubuh lemahnya dengan doa-doa, menunggu kepulangannya begitu lama. Dan setelah pulang, ia malah melukai harapan Bapak dan Ibu. Batinnya merintih, mengirimkan sinyal pada konjungtivanya untuk meneteskan airmata penyesalan. Siang itu ia lalui dengan menangis. Menyesali perbuatannya di pangkuan Ibu.

Selepas magrib, betapa terkejutnya saat Adi mendapati Bapak didepan pintu kamarnya.

“Di, temani Bapak merokok di beranda.” Ucapnya.

Dan disinilah Adi sekarang. Diberanda rumahnya. Angin malam pedesaan membawa wangi pegunungan ke dalam penciumannya, sejuk dan segar.

“Di, maafkan Bapak, kalau perkataan Bapak kemarin membuat kamu sakit hati” Bapak berkata memecah kekakuan.

“Ga,Pak. Adi yang minta maaf, karena memaksa Bapak menuruti keinginan Adi” jawab Adi

Bapak tertawa getir. Ada yang aneh dalam tawanya. Ia menoleh kearah adi sambil memegang pundak anaknya itu.

“Kejar cita-cita kamu,Nak. Kalau kamu memang ingin pekerjaan itu, ambil. Biarkan bapak dan ibu mendoakan kamu dari sini.” Ucap Bapak.

***

Adi menoleh sekali lagi kebelakang. Kedua orangtuanya tersenyum, sambil melambaikan tangan. Entah kenapa mereka terlihat begitu tegar dibanding aku sekarang batin Adi. Tubuhnya tak bergerak dari tempat dimana ia berdiri sekarang. Tak disangka olehnnya, bahwa terminal bus Kalipucang ini, akan kembali jadi saksi perpisahannya dengan kedua orangtuanya. Adi janji akan sering menengok Bapak dan Ibu Adi membatin lagi. Segera setelah itu ia melangkah pasti menuju bus antarkota yang akan membawanya melintasi mimpi-mimpinya di ibukota.

***

“Kejar cita-cita kamu,Nak. Kalau kamu memang ingin pekerjaan itu, ambil. Biarkan bapak dan ibu mendoakan kamu dari sini.” Ucap Bapak.

“Tapi,..”

“Nak, Bapak rela. Asalkan apa yang kamu cita-citakan tercapai. Bapak cuma ingin melihat kamu bahagia.”

Adi tertegun mendengar perkataan Bapak.

“Maaf kalau Bapak atau Ibu ga bisa menemani kamu disana. Bapak punya tanggung jawab disini. Asalkan bapak tahu kamu disana sukses, itu sudah cukup buat bapak,Di. Cuma satu pesan Bapak, jangan lupa ibadah dan jangan lupa sering-sering menengok Ibu dan Bapakmu yang sudah tua ini”

Lamunan tentang obrolannya dengan Bapak 5 bulan lalu terhenti saat seseorang masuk melalui pintu kecil di depan mejanya. Orang itu tersenyum ramah sambil bergumam tak jelas, namun Adi masih dapat mendengar bahwa orang itu menyapanya.

“Sore,Dok”

Adi membalas senyuman itu. Terdengar helaan nafas darinya, bersiap untuk menghadapi pasien berikutnya. Pekerjaan telah ia dapatkan, materi telah tersedia untuknya, namun hatinya masih terganjal. Bayangan orangtuanya masih berkelebat dalam alam pikirannya. Buat apa aku bekerja keras seperti ini kalau bukan untuk orangtuaku batinnya, sambil memeriksa denyut jantung pasien yang kini terbaring di tempat tidur dihadapannya. Pikirannya tiba-tiba teringat perkataan teman lamanya.

“Lo abis lulus langsung nikah, Man?” tanya Adi di suatu siang di kampusnya.

“Iya, orangtua gw, udah pengen gw cepet-cepet nikah” jawab Warman teman kuliahnya.

“Ga terlalu buru-buru?”

“Ga. Mumpung orangtua masih ada,Di. Apa aja bakal gw turutin buat ngebahagiain mereka”

Adi terkejut, saat lamunannya buyar. Pikirannya kembali menginjak bumi. Kalimat terakhir dari perbincangan itu terus terngiang di telinganya. Bahkan saat menulis resep obat pasiennya itu. Setelah pasien terakhirnya itu keluar, Adi memandang kosong ke depan, helaan nafas terus-menurus terdengar darinya. Tak sadar tangannya telah menyambar kertas polos dan bolpoint hitam.

***

Jakarta, 2009

Kepada Bapak dan Ibu yang Adi cintai. Pak, Adi sekarang sudah mendapatkan pekerjaan yang baik, berkat doa Bapak dan juga Ibu. Adi ingin sekali berterimakasih sama Bapak dan Ibu karena sekali lagi, merestui Adi pergi ke Jakarta untuk mengejar cita-cita.

Pak,Bu. Jangan kira Adi disini ga pernah mikirin Ibu dan Bapak. Adi sangat cemas sama Ibu dan Bapak, Adi baru sadar Rindu Adi kepada Bapak dan Ibu sudah ga bisa Adi bendung lagi. Kalianlah alasan Adi selama ini mengejar cita-cita sampai Jakarta. Dan saat ini, Adi seperti ga menemukan alasan itu lagi. Karena ternyata Adi terlalu berfikir tentang materi. Adi jadi sangat takut karena ga bisa memberikan apa yang Bapak dan Ibu minta, dan melupakan bahwa kebahagiaan sejati Bapak dan Ibu bukan diukur dari materi apa yang Adi bisa berikan. Tapi kebahagiaan Adilah kebahagiaan sejati buat kalian, begitupun sebaliknya.

Maka dari itu Pak, Bu. Adi bawa kabar gembira buat Ibu dan Bapak. Pihak rumahsakit tempat Adi bekerja menyetujui proposal Adi untuk mendirikan Puskesmas di wilayah desa Bapak, dan Ibu, karena akses kesehatan disana tidak cukup memadai dan terlalu jauh. Dan Adi akan bekerja sebagai dokter kepala di puskesmas itu. Pak, Bu. Adi akan pulang. Adi akan terus-menerus bersama Bapak dan Ibu. Adi rindu sekali sama Bapak dan Ibu, dan Adi baru sadar, Meski Adi terbang jauh melintasi sang waktu, atau kemanapun angin berhembus menuntun langkah Adi, Adi akan kembali pada Bapak dan Ibu, orangtua yang Adi cintai.

Anakmu,

Adi

Ibu melepas kacamata bacanya, setelah selesai membacakan surat Adi untuk Bapak. Senyum terkembang di wajah Bapak yang basah karena air mata. Bukan hanya karena surat yang dikirimkan oleh anak tunggalnya itu, tetapi karena sosok yang terlihat berdiri di depan pintu kayu rumah tuanya.

“Adi pulang, Pak. Adi pulang buat Bapak dan Ibu” Ucap Adi, masih berdiri di depan pintu memandangi kedua orangtuanya yang tersenyum bahagia.

***

Jakarta, Juni 2009

Brainstrom from Padi’s song. Kemanapun Angin Berhembus-in Album: Sesuatu yang tertunda

No comments:

Post a Comment